REVITALISASI SEMANGAT KARTINI

Perayaan hari Kartini selalu identik dengan pergelaran dan parade busana tradisional. Di sekolah-sekolah untuk hampir semua jenjang, penyelenggaraan lomba peragaan busana ini menjadi kewajiban yang setiap tahun tak pernah luput. Tradisi ini juga kemudian meluas ke tingkat lebih tinggi dengan beberapa tambahan acara. Sentuhan hari Kartini juga terasa pada televisi nasional dan pusat-pusat perbelanjaan, yang diimplikasikan dalam penggunaan busana tradisional. Dan sedikit sekali yang mengisi perayaan hari Kartini dengan acara-acara yang membangkitkan kembali upaya-upaya dan pemikiran yang telah digagas Raden Adjeng Kartini.

Mengisi perayaan hari Kartini dengan peragaan busana atau mewajibkan mengenakan pakaian tradisional pada setiap 21 April, tidak sepenuhnya keliru. Namun apabila tidak disertai dengan usaha-usaha untuk membangkitkan nilai-nilai dan gagasan Kartini, dikhawatirkan akan terjadi proses pengerdilan makna. Sehingga – seperti yang terjadi pada kebanyakan peristiwa sejarah yang terjadi dengan bangsa ini – pengetahuan masyarakatnya hanya sampai pada mengingat tanggal dan tahun kejadian bukan pada semangat apa yang secara hakiki telah menggerakkan berlangsungnya peristiwa tersebut.

Maka sepertinya terasa relevan ketika menyodorkan judul tulisan “Revitalisasi Semangat Kartini”. Ada dua kata kunci pada judul tersebut yakni revitalisasi dan semangat Kartini. Secara harfiah revitalisasi merujuk pada pengertian pembenahan atau memfungsikan kembali. Dalam revitalisasi perkotaan misalnya – menurut Danisworo (2002) – merujuk pada upaya-upaya memvitalkan kembali suatu kawasan yang dulunya pernah hidup akan tetapi seiring dengan perkembangan jaman telah mengalami kemunduran. Skala dari revitalisasi ini baik pada tingkat makro maupun mikro, yang di dalamnya mencakup perbaikan fisik maupun non fisik. Untuk mewujudkan revitalisasi perkotaan ini diperlukan keterlibatan masyarakat yang tidak sekedar mendukung aspek formalitas semata. Dalam konteks merevitalisasi semangat Kartini bisa diartikan sebagai upaya pembenahan dan memfungsikan kembali semangat-semangat Kartini yang pernah hidup namun seiring dengan perkembangan waktu mengalami kemunduran, pemiskinan dan pengerdilan. Dalam merevitalisasi semangat Kartini pun diperlukan keterlibatan masyarakat yang tidak saja mendukung aspek formalitas.

Sebelum bisa melakukan revitalisasi terhadap semangat Kartini, mau tidak mau harus menakar kembali seperti apa semangat Kartini tersebut. Di sinilah penggalian tata nilai dan semangat yang telah dipikir dan digagas oleh Raden Adjeng Kartini akan terjadi. Tanpa upaya-upaya seperti itu, tentu saja proses revitalisasi semangat Kartini ini tidak akan menghasilkan apa-apa selain kembali pada aspek seremonial dan mengingat tanggal dan tahun kelahiran Raden Adjeng Kartini. Tidak akan pernah lebih dari itu. Saya jadi teringat sebuah adegan film tentang drama yang diselenggarakan siswa taman kanak-kanak. Drama itu menceritakan sosok presiden Amerika, John F. Kennedy. Masing-masing anak diwajibkan menghafal satu dua kata, kemudian secara estafet tampil di depan orang tua murid, dewan guru dan para tamu undangan. Masing-masing anak cukup mengucapkan satu dua kata yang telah dihafalnya. Sebuah upaya sederhana sesuai dengan psikologi perkembangan anak. Tapi setelah semua anak selesai mengucapkan kata yang harus dihafalnya, lalu kata-kata itu digabung, maka akan terbentuklah beberapa kalimat yang merujuk kepada sosok John F. Kennedy.

Melahirkan kembali semangat Kartini bisa dimulai sejak siswa taman kanak-kanak. Kita tentu saja tidak haram untuk mencontoh seperti adegan dalam film tadi, membekali semangat Kartini pada anak-anak dengan cara yang sederhana. Misalnya saja, masing-masing anak mengingat satu atau dua kelebihan dan buah pikiran Raden Adjeng Kartini, lalu mengatakannya di depan siswa lain, dewan guru dan para tamu undangan. Bayangkan bila satu kelas saja yang berisi 40 orang siswa, lalu masing-masing anak mengatakan kelebihan dan buah pikiran Kartini, maka akan ada 40 kata yang bisa terangkai dalam beberapa kalimat. Sebuah pembekalan sederhana namun jauh lebih efektif daripada mengisinya melulu dengan peragaan busana tradisional.

Kartini Dan Bahan Bacaan
Menelusuri semangat Kartini baik pada saat memandang dirinya sebagai perempuan Jawa di hadapan perempuan eropa, maupun pemikiran-pemikirannya pada saat ia berhadapan dengan dogma agama dan sosio kultur lingkungan Jawa, merupakan modal utama untuk merevitalisasi semangat Kartini yang bisa diimplemantasikan pada kekinian. Masalah hukum agama Islam tentang poligami misalnya, termasuk masalah yang dikritisi Kartini pada usianya yang masih belia. Pada teman korespondensinya, Estelle Zeehandelaar, Kartini mengungkapkan bagaimana lingkungan adat Jawa yang membelenggu kaum perempuan. Perempuan di Jawa saat itu tak boleh bersekolah tinggi, usia 12 tahun harus mulai dipingit, harus rela dinikahkan dengan laki-laki mana saja sekalipun tidak saling mengenal dan tentu saja harus bersedia dimadu (poligami).

Pada agama (Islam) secara tekstual, Kartini juga sering melontarkan pemahaman kritisnya. Menurutnya kitab suci tak sekedar dilafalkan dan dihafalkan, tapi bagaimana kitab suci itu dipahami untuk kemudian diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut pandangan Kartini, dunia akan menjadi tentram bilamana tidak ada orang yang berselisih dan saling menyakiti dengan mengatasnamakan agama. Dalam sebuah suratnya, Raden Adjeng Kartini menulis bahwa agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu. Pandangan kritis Kartini terhadap agamanya juga ditujukan kenapa agama menjadi pembenaran terhadap tabiat laki-laki untuk poligami. Lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa dari dunianya yang terbatas tembok rumah.

Benar bahwa pikiran-pikiran Kartini berbeda dengan kaum perempuan saat itu – juga kebanyakan dari kaum perempuan priyayi – salah satunya adalah kegemarannya membaca dan melahap bahan bacaan apa saja. Kepandaiannya berbahasa Belanda sangat membantu untuk bersinggungan dengan tulisan-tulisan para cendekiawan eropa saat itu. Sampai sebelum usia 12 tahun, Kartini masih diperbolehkan sekolah di Europese Lagera School sebelum akhirnya mulai dipingit setelah melewati usia 12 tahun. Kepandaian berbahasa Belanda semakin terasah karena salah seorang kakaknya, Sosrokartono, seorang pemuda yang pintar dalam bidang bahasa. Selain itu,
Raden Adjeng Kartini putri dari istri pertama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat ini banyak membaca surat kabar De Locomotief yang terbit di Semarang dan diasuh Pieter Brooshooft, selain secara rutin ia menerima paket majalah kebudayaan, ilmu pengetahun dan majalah wanita, De Hollandsche Leie, dari toko buku yang dikirimkan kepada para pelanggannya. Kartini telah dua kali menamatkan roman karya Multatuli Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta, lalu De Stille Kraacht karya Louis Coperus, juga membaca roman bermutu karya Van Eeden, Augusta de Witt, Goekoop de Jong Van Beek dan roman anti perang berbahasa Belanda, Die Waffen Nieder karya Berta Von Suttner. Roman feminis karya Goekoop de Jong Van Beek, termasuk yang turut mempengaruhi pikiran-pikiran Kartini yang sangat berbenturan dengan tradisi pingit, bagi perempuan belia yang siap dinikahkan.

Persamaan kesempatan antara laki-laki dan perempuan – yang sering disalah artikan sehingga cenderung keblabasan – merupakan rangkuman buah pikiran Kartini. Pikiran-pikiran dan kegelisahan Kartini tercermin dalam surat-suratnya kepada Rosa Abendanon, salah seorang koresponden yang menjadi pendukung pikiran-pikiran Kartini. Dari persinggungan dengan alam pikiran orang eropa itulah Kartini semakin melihat bagaimana nasib dan status sosial perempuan pribumi yang terpinggirkan. Namun semangat untuk memperjuangkan nasib sesama perempuan itu hampir kandas, ketika pada 12 November 1903, orang tuanya memaksa Kartini untuk segera menikah dengan bupati Rembang, K.R.M Adipati Ario Singgih Djojoadhiningrat. Pemikiran kritis tentang poligami benar-benar termakan sendiri karena Ario Singgih Djojoadhiningrat ini dikenal pernah memiliki tiga istri. Secercah harapan mampu membangkitkan kembali semangat yang telah pudar, ketika diketahui ternyata Ario Singgih Djojoadhiningrat mendukung pikiran-pikiran dan kegelisahan Kartini tentang nasib perempuan pribumi saat itu. Bukti dukungan Ario Singgih Djojoadhiningrat ini dengan diijinkannya Kartini membuka sekolah wanita di kompleks kantor Kabupaten Rembang sebelah timur dari pintu gerbang, yang sekarang menjadi Gedung Pramuka. Pada tahun 1912 Sekolah Wanita pertama didirikan di Semarang yang dikelola oleh Yayasan Kartini. Kemudian sekolah wanita tersebut dibuka di Malang, Surabaya, Yogyakarta, Madiun dan Cirebon. Yayasan Kartini sendiri didirikan oleh keluarga Van Deventer. Sayang, Kartini tak sempat melihat bagaimana sekolah wanita ini mulai berkembang, karena pada 17 September 1904 meninggal dunia dalam usia 25 tahun beberapa hari setelah melahirkan putra pertama sekaligus terakhirnya, R. M Soesalit yang lahir 13 Sepember 1904.

Setelah Kartini meninggal, surat-suratnya dibukukan untuk pertama kali pada 1911 oleh Mr. J. H Abendanon baik surat kepada Rosa Abendanon maupun kepada teman-teman lainnya di eropa. Buku kumpulan surat Kartini tersebut diberi judul Door Duisternis tot Licht, yang secara harfiah berarti Dari Kegelapan Menuju Cahaya. Balai Pustaka pun pada 1922 menerbitkan surat-surat Kartini dalam bahasa Melayu yang merupakan terjemahan dari edisi aslinya dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang : Boeah Pikiran Kartini. Lalu 16 tahun kemudian, pujangga Armyn Pane pun melakukan hal yang sam

a dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Dalam bukunya ini Armyn Pane melakukan perubahan, karena lebih menitikan beratkan pada bobotnya sebagai roman, sehingga ada beberapa surat Kartini yang tidak disertakan dengan alasan tidak relevan sebagai sebuah roman. Surat-surat Kartini pun diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jawa dan Sunda. Untuk terjemahan ke dalam bahasa Inggris pertama kali dilakukan oleh Agnes L. Symmers.

Kehadiran buku yang berisi surat-surat Kartini kepada teman-temannya di eropa telah menarik perhatian masyarakat Belanda yang pada akhirnya mulai terjadi perubahan cara pandang mereka terhadap perempuan pribumi terutama yang berada di Jawa, dimana Kartini telah berhasil memotretnya. Inilah prestasi besar seorang perempuan Jawa yang terkungkung tembok rumah dan tradisi, tapi telah mampu merubah paradigma berpikir orang eropa. Pikiran-pikiran Kartini tentang kondisi sosial, nasib perempuan pribumi, gugatan terhadap budaya Jawa yang menghambat kemajuan perempuan senantiasa berlandaskan kepada ketuhanan, kebijaksanaan, keindahan, kemanusian dan nasionalisme.

Dalam sebuah surat kepada Rosa Ab
endanon, Kartini mengungkapkan tak berniat lagi untuk meneruskan sekolah di Betawi dan eropa, karena sebentar lagi akan menikah, padahal pihak Departemen Pengajaran Belanda telah membuka pintu selebar-lebarnya untuk kelanjutan studi Kartini dan Rukmini, adiknya. Pikiran dan obsesi Kartini tentang kemajuan perempuan pribumi mulai melunak saat menjelang pernikahannya. Ia justru ingin memanfaatkan status pernikahannya itu untuk membangun sekolah wanita pribumi dan cita-cita itu terwujud berkat dukungan K.R.M Adipati Ario Singgih Djojoadhiningrat, suaminya. Pada sebuah suratnya Kartini bercerita, suaminya tidak saja mendukung mendirikan sekolah, mengembangkan ukiran Jepara tapi juga memberi kesempatan dan waktu untuk menulis sebuah buku. Buah pikiran Raden Adjeng Kartini yang terlalu sederhana bila kita menghargainya hanya sebatas seremonial dan tanggal kelahirannya sebagai hari besar nasional : Hari Kartini.

Oleh : E. Rokajat Asura

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

two × 5 =