Pada tahun 1964, untuk pertama kalinya A.R. berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Dia berangkat dalam kapasitas sebagai Majelis Perjalanan Haji mewakili Muhammadiyah. A.R. dipilih menjadi ketua rombongan yang memimpin jamaah dari Jawa Timur dan Madura. Perjalanan haji itu ditempuh dengan Kapal Moto (KM) Tamrin yang berangkat dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.
Pada hari yang ditentukan, KM Tamrin berlayar mengarungi Laut Jawa. Di tengah pelayaran menuju Tanjung Mas, Semarang, salah seorang awak kapal bagian kebersihan datang menemui AR. “Pak, saya mohon Bapak bersedia memberitahukan kepada jamaah agar mereka bersedia menjaga kebersihan selama dalam perjalanan,” kata awak kapal itu dengan bersungut-sungut.
A.R. tersenyum sebelum menjawab, “Baik. Nanti akan saya sampaikan.”
“Mereka itu jorok sekali, Pak,” awak kapal itu masih bersungut-sungut, mengadu. “Saya tidak habis pikir dengan tindakan mereka yang berak di wastafel. Saat saya tanya, mereka tidak ada yang mau mengaku.”
A.R. agak terkejut mendengar keterangan awak kapal itu. Belum sempat dia memberi tanggapan, si awak kapal sudah menyambung, “Jika seperti ini terus, saya dan teman-teman bagian kebersihan yang kerepotan. Tiap hari kami harus membersihkan kotoran manusia di tempat yang seharusnya untuk mencuci tangan dan muka.”
A.R. mengangguk-angguk. Ia paham apa yang dirasakan awak kapal. “Baik. Nanti akan saya ingatkan mereka. Mohon Saudara bersabar, karena banyak di antara mereka yang berasal dari desa sehingga tidak tahu kalau wastafel itu tempat untuk mencuci tangan,” jawab A.R..
Awak kapal itu pergi setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih.
Saat waktu shalat tiba, A.R. mengajak calon jamaah haji untuk berjamaah. Setelah shalat, A.R. memberikan kultum dengan mengangkat tema soal kebersihan dalam Islam. Dengan lembut dan santun, sesekali dibumbui humor, A.R. menjelaskan bahwa kebersihan merupakan sebagaian dari iman. Oleh karena itu, seorang yang mengaku beriman kepada Gusti Allah dan rasul-Nya harus menjaga kebersihan, baik kebersihan tubuh, pakaian, tempat tinggal, lingkungan, dan lain sebagainya.
A.R. juga menerangkan, jika ingin imannya baik, maka tidak boleh membuang sampah dan kotoran sembarangan. Jika buang air besar atau berak harus dilakukan di tempat yang disediakan. Apalagi hendak berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji, maka imannya juga harus selalu ditingkatkan. Hati juga harus dibersihkan dari persangkaan buruk kepada siapa pun.
“Jadi, orang yang mengaku beriman itu harus bisa menjaga kebersihannya. Salah satunya dia tidak boleh berak sembarangan. Hajat itu harus ditunaikan di tempat yang tepat, di tempat yang sudah disediakan,” kata A.R. kepada jamaah.
Jamaah mengangguk-angguk mendengar penjelasan A.R. Selesai ceramah, tokoh Muhammadiyah itu memberi kesempatan kepada jamaah untuk bertanya tentang berbagai hal yang berkaitan dengan masalah kebersihan. Mereka juga diperkenankan menyampaikan usulan-usulan agar selama perjalanan ke Tanah Suci kapal tetap bersih. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh jamaah. Banyak di antara mereka yang menyampaikan usulan dan bertanya kepada Pak AR.
Saat A.R. hendak mengakhiri kultum, tiba-tiba ada seorang jamaah mengangkat tangan, meminta izin menyampaikan usulan. “Pak A.R., jika saya boleh mengusulkan, mbok ya tempat untuk berak itu posisinya diturunkan, agar tidak terlalu tinggi. Jika posisinya terlalu tinggi, itu membuat saya merasa susah jika akan berak.”
Mendengar usulan itu, tahulah A.R. bahwa orang itulah yang selama ini berak di wastafel. Orang itu kemudian ditanya berasal dari mana, menginap di kamar berapa, dan lain sebagainya. Selesai kultum, A.R. mendatangi orang itu di kamarnya. A.R. memberitahu orang tersebut jika tempat yang ditaruh agak tinggi itu namanya wastafel. Itu bukan untuk berak, tapi untuk mencuci tangan dan muka. Tempat berak dan buang air ada sendiri, dan A.R. menunjukkannya.
Jamaah itupun berulangkali meminta maaf karena sudah berak di wastafel. Dia berjanji tidak akan mengulanginya, dan berulang-ulang mengucapkan terima kasih kepada A.R. karena sudah memberinya nasihat dengan tidak mempermalukannya di depan umum. A.R. memilih mendatangi jamaah itu secara pribadi dan menasihatinya di ruangan pribadi, tidak menegurnya di depan umum, karena hal itu akan mempermalukan jamaah itu di hadapan jamaah lainnya.
Sejak saat itu, tidak ada lagi yang berak di wastafel. Awak kapal bagian kebersihan kembali menemui A.R. “Terima kasih, Pak AR. Setelah Bapak memberi nasihat kepada jamaah, sekarang tidak ada lagi yang berak di wastafel,” kata awak kapal itu, sembari melempar senyum.
(Dikutip dari Buku Pak AR & Jejak-Jejak Bijaknya, hal 263-266, Penerbit Imania, 2020)