Siswa Bukan Sekadar Cari Nilai, Tapi Harus Bisa Berpikir Kritis dan Jadi ‘Problem Solver’

 

Sekjen DPP Garnita Malahayati Partai NasDem, Tantri Moerdopo (kanan) memandu acara bedah buku Ki Hadjar Sebuah Memoar di NasDem Tower, Jakarta, Kamis, 15 Mei 2025

 

 

 

Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, mengajarkan bahwa sekolah tak hanya menitikberatkan pada penilaian angka, melainkan para siswa harus mampu mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah. Ki Hadjar juga menekankan bahwa tujuan pendidikan adalah mencetak peserta diidk yang memiliki kepekaan sosial dan moral yang luhur.

Hal itu disampaikan oleh Founder & CEO Redea Institute (Highscope Indonesia), Antarina S.F. Amir. dalam diskusi buku Ki Hadjar Sebuah Memoar, yang digelar oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Nasdem, di NasDem Tower, Jakarta, Kamis, 15 Mei 2025 sore.

Diskusi ini juga menghadirkan oleh Haidar Musyafa, penulis buku Ki Hadjar Sebuah Memoar, dan Ketua Bidang Kaderisasi dan Pendidikan Politik DPP Partai NasDem, Achmad Baidowi.

Menurut Antarina, pandangan Ki Hadjar soal sekolah tidak hanya menitikberatkan pada penilaian angka, melainkan keputusan dari para siswa untuk mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah.

“Pendidikan harus mampu mengembangkan individu yang tak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kepekaan sosial dan moral yang tinggi,” ujar Antarina yang juga cucu kemenakan dari Ki Hadjar.

Selain keterampilan atau kompetensi, dalam konteks dunia yang maklin kompleks dan terhubung, Antarina menyoroti pentingnya pengembangan kemampuan empati sosial (empathetic social skills) dan kepemimpinan etis (ethical leadership).

Kemampuan empati sosial memungkinkan individu untuk memahami dan merasakan perspektif orang lain, membangun hubungan yang positif, dan berkontribusi pada masyarakat secara konstruktif. Sementara itu, kepemimpinan etis membekali individu dengan kemampuan untuk memimpin dengan integritas, tanggung jawab, dan moralitas.

Hal ini relevan dengan tantangan-tantangan global seperti disinformasi, intoleransi, dan krisis kemanusiaan.

“Pendidikan karakter adalah tentang membentuk individu yang tidak hanya memiliki pengetahuan, tetapi juga memiliki nilai-nilai yang kuat. Dan ketika mengajarkan karakter, tidak hanya membentuk individu, tetapi juga membangun masyarakat yang lebih baik,” ujarnya.

Pentingnya Pendidikan Karakter

Sementara itu, penulis buku Ki Hadjar Sebuah Memoar, Haidar Musyafa, mengatakan, Ki Hadjar lahir dari seorang ayah yang sangat peduli terhadap pendidikan. Karena itu, ayahnya mengirimkan Ki Hadjar ke sekolah-sekolah Belanda. Tujuannya agar setiap anaknya bisa meraih pendidikan.

Dari sana, Ki Hadjar kenal lebih jauh terhadap sistem pendidikan yang bukan sekadar belajar baca tulis. “Selain pendidikan umum, pendidikan yang dikenalkan Ki Hadjar pada akhirnya adalah pendidikan yang membentuk kepribadian, atau pendidikan karakter,” tutur Haidar.

 

 

Haidar Musyafa, Penulis Buku Ki Hadjar Dewantara Sebuah Memoar, terbitan Penerbit Imania, 2014. | Tangkapan Layar Youtube Nasdem TV.

 

Ki Hadjar, menurut Haidar,  memberikan pembebasan berpikir. Pendidikan tidak harus kaku pada ruang-ruang kelas.

“Anak-anak itu selalu diajak keluar, misal berhitung itu pakai batu kerikil diambil 5 kemudian ditambah 5, 10. Mengenal aneka warna dari bunga dan sebagainya,” ungkap dia.

Haidar menyebut Ki Hadjar juga selalu mengedepankan metode diskusi dalam meraih pengetahuan. Hingga lahirlah generasi kritis dan peka terhadap apa yang ada di masyarkat.

“Ini tampak sederhana, tapi berdampak positif bagi perkembangan kemampuan anak bangsa,” ujar dia.

Kritik terhadap Pendidikan sebagai Komoditas

Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Sukma Achmad Baidowi, menyoroti bahwa salah satu semboyan pendidikan yang dipopulerkan Ki Hadjar, yakni ing madya mangun karsa, hampir tidak pernah diterapkan dalam skema kebijakan pendidikan nasional.

Semboyan itu menggambarkan pentingnya partisipasi masyarakat untuk membangun pendidikan nasional. Namun, kata dia,  pendidikan saat ini justru kerap dijadikan komoditas politik oleh para politikus dan kepala daerah yang menjanjikan pendidikan gratis.

“Apa yang diajarkan oleh Ki Hadjar harusnya terimplementasi dengan baik dalam skema sisitem pendidikan nasional. Sekarang orang tua seakan-akan semuanya harus menunggu pemerintah. Ada makan gratis, anaknya nakal dibawa ke barak, eksesnya akhirnya masyarakat menjadi sangat tergantung,” jelas Baidhowi.

Baidowi menilai, cara berpikir pedagogik dalam pengajaran Ki Hadjar Dewanatara lebih maju dibandingkan dengan sejumlah tokoh pendidikan dunia. Sebab, Ki Hadjar selalu membawa sisi kemanusiaan dalam pengajaran.

Baidowi menyayangkan pola pendidikan di Indionesia yang menurutnya belum bisa menerapkan ajaran Ki Hadjar seutuhnya. Bahkan, kata dia, sistem pendidikan Indonesia masih terjebak dalam pola yang dijalankan pemerintah Belanda.

Saat ini, pendidikan di Indonesia lebih mengedepankan aspek logika ketimbang afeksi. Daya nalar dikedepankan, tapi daya rasa tidak dikembangkan.

“Padahal semua ini seharusnya dapat dijalankan dan dikembangkan bersama. Tidak ada yang tertinggal, semua harus dikuatkan,” tegas dia.

Menurutnya, dengan tidak menjalankan konsep Ki Hadjar, pendidikan Indonesia jauh tertinggal. Karena, sejatinya, kata Baidowi pemikiran Ki Hadjar telah melampaui zamannya.

“Kalau kita hanya bisa seperti ini, maka kita terjebak hanya merayakan Hari Pendidikan Nasional untuk menghargai Ki Hadjar itu seperti sangat formalistik, jadi semacam ya upacara ke upacara saja,” tandas Baidowi.

(Laporan dari Diskusi Buku KI HADJAR, SEBUAH MEMOAR, Karya Haidar Musyafa, Terbitan Penerbit Imania, 2017, yang digelar oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Nasdem, di NasDem Tower, Jakarta, Kamis, 15 Mei 2025 sore).

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

five × one =