Raden Mas Seowardi yang lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara adalah pahlawan nasional yang ikut berjuang keras demi kemajuan bangsa, khususnya dalam bidang pendidikan.
Dia berjuang keras agar para inlander juga bisa mendapat pendidikan layak. Untuk menghormati perjuangannya, bertepatan dengan kelahiran Ki Hajar Dewantara tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Sejak kecil Ki Hajar Dewantara mendapat pemahaman, sesama itu memiliki kedudukan sederajat di hadapan Tuhan (hal 36). Maka, dia tidak pernah membeda-bedakan dalam menjalin pertemanan. Sejak kecil ternyata dia sudah sangat peduli dengan pendidikan.
Melihat banyak teman inlander tidak bisa menuntut ilmu, membuatnya sedih dan bertekad berbagi ilmu pada mereka. Sejak saat itulah Ki Hajar memiliki impian membangun sekolah (hal 61).
Namun sebelum benar-benar terjun pada kancah pendidikan, Ki Hajar Dewantara pernah berjuang di bidang politik. Bersama Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo mereka mendirikan Indische Partij (NIP) yang kelak menjadi National Indische Partij. Selain perjuang pada bidang politik, Ki Hajar juga aktif dalam dunia jurnalistik. Banyak tulisan yang mengecam ketidakadilan Hindia Belanda.
Baru pada 1921 Ki Hajar Dewantara memutuskan keluar dari NIP dan fokus pada pendidikan (hal 241). Dia membantu kakaknya, Kangmas Soerjopranoto yang sedang merintis taman belajar anak-anak di Istana Kadipaten Puro Pakualam.
Kemudian, Ki Hajar membuka sekolah sendiri sesuai keinginan dan impian untuk menjalankan sistem pendidikan anak-anak inlander. Harapannya, kelak mereka menjadi manusia mandiri, cerdas, cermat, serta menjadi pribadi andal lahir batin (hal 260).
Cita-citanya terwujud pada tanggal 3 Juli 1922. Dia mendirikan National Onderwijs Instituut Tamansiswa dengan tujuh asas dan tujuan (hal 266-267). Untuk mengenang peristiwa itu, Ki Hajar membuat tetenger—pertanda yang berbunyi, “Lawan sastra Ngesti Mulyo.” Artinya, “Dengan menguasai ilmu akan mendatangkan kemuliaan dan melawan segala bentuk kebiadaban,” (hal 268). Ki Hajar berpendapat, “Pendidikan merupakan sarana utama membebaskan negeri dari kebodohan,” (hal 278).
Ki Hajar meyakini, pendidikan tidak boleh diberikan secara paksaan, tapi dengan sikap penuh kasih sayang, cinta damai, penuh kejujuran, dan sopan (hal 287). Peserta didik harus ditempatkan sebagai subjek bukan objek.
Para peserta didik harus diberi ruang seluas-luasnya untuk meningkatkan potensi diri dengan cara kreatif dan bertanggung jawab sesuai dengan kemampuan masing-masing. Karena itu, Ki Hajar menerapkan tiga semboyan dalam pendidikan di sekolah Tamansiswa: Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani (hal 288).
Selain mengembangkan daya pikir dan nalar, Ki Hajar juga menekankan pendidikan budi pekerti, agar karakter anak terbentuk secara baik dan berkembang menjadi manusia berbudi pekerti mulia. Ki Hajar benar-benar mendedikasikan hidupnya untuk memperjuangkan pendidikan. Perjuangannya terus berlanjut bahkan ketika kemerdekaan Indonesia sudah tercapai.
Buku ini merupakan sebuah novel biografi sarat makna dan inspiratif. Kisah tokoh yang yang disebut sebagai bapak pendidikan nasioanl ini, mengajarkan tentang arti pendidikan yang memang bisa mengubah suatu dunia dengan kepandaian.
Sumber : www.koran-jakarta.com