Segala puji hanya milik Allah Swt. Salawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad Saw., kepada keluarga, para sahabat, dan kepada umatnya sampai akhir zaman. Atas rahmat Allah Swt. sampai hari ini kita diberi kesempatan hidup dan mengisi kehidupan, diberi kesempatan bersyukur dan saling berbagi rasa syukur, diberi kesempatan belajar dan saling mengajar. Salah satu bentuk dari belajar dan saling mengajar adalah meneladani kisah-kisah para pejuang.
Sampai sebelum novel ini hadir – saya seperti juga barangkali kebanyakan masyarakat – mengetahui Panglima Besar Sudirman sebagai sosok yang tegas, keras hati dan pantang menyerah. Perjalanan perang gerilya dalam keadaan sakit telah membuktikan ketiga watak itu. Jarang sekali yang mengetahui sisi-sisi romantika Panglima Besar Sudirman sebagai manusia, sebagai suami dari Ibu Siti Alfiah dan sebagai bapak dari putra-putrinya. Padahal mengetahui sisi romantika seseorang, akan banyak hal yang bisa kita pelajari. Bagaimana seorang lelaki menghayati ajaran Islam yang sempurna, akan tercermin ketika ia memperlakukan seorang perempuan sebagai istrinya, mendidik putra-putri buah kasih sayangnya, barulah kemudian keharmonisan di dalam rumah tangga itu menjadi bekal dalam kehidupan bertetangga, kehidupan berbangsa dan bernegara. Saya jadi teringat ungkapan Syaikh Imad Zaki Al-Barudi penulis Kitab Tafsir Wanita, diantara pentingnya pertemuan laki-laki dan perempuan dalam membangun institusi keluarga adalah menciptakan ketenangan dan ketentraman, menutupi rahasia dan menjaga diri dengan bagian dan perannya masing-masing. Dan Panglima Besar Sudirman – seperti bisa kita baca dalam novel biografi Sudirman-Alfiah : Kisah-kisah Romantis Panglima Besar Jenderal Sudiriman ini – telah mewujudkan semua itu kepada perempuan yang dicintainya Siti Alfiah. Sebuah dialog menarik antara Pak Dirman dan Bu Alfiah, yang mencerminkan bagaimana saling berbagi peran dalam rumah tangga sesuai dengan kodratnya, bisa kita temukan dalam novel ini.
“Juga menganugerahi kita anak-anak. Lalu, kau menghabiskan seluruh waktu untuk mengurus anak-anak dan rumah tangga. Penghargaan apa yang sepantasnya kau terima? Tetapi kalaupun ada, tampaknya aku tak akan sanggup mengabulkannya.”
“Aku menghabiskan seluruh waktu untuk anak-anak dan rumah tangga, tetapi bapak menghabiskan seluruh waktu untuk bangsa dan negara. Maka, kalaupun ada penghargaan yang aku terima, aku akan serahkan penghargaan itu kepadamu, Pak. Sebab tugas dan tanggung jawab bapak jauh melampaui kemampuan bapak sendiri. Aku masih bisa istirahat di antara waktu anak-anak istirahat, tetapi bapak hampir tak bisa istirahat di antara waktu para prajurit istirahat,” sambung Alfiah.
Saya sepenuhnya sadar bahwa buku yang ada di tangan Anda ini adalah sebuah novel. Kendati novel biografi yang bersumber fakta-fakta sejarah, tetapi tentu imajinasi untuk membangun unsur-unsur dramatik bangun sebuah novel sangat kental. Namun menurut hemat saya, justru di situlah letak menariknya novel ini. Kita dihadapkan pada perjalanan hidup seorang pahlawan yang terasa hidup dan sedang bertutur tentang kisah hidupnya di hadapan kita. Dengan demikian ada hubungan emosional antara kita para pembacanya dengan sang tokoh yang sedang dituturkan kehidupannya. Sehingga apa yang sedang diperbincangkan tokoh-tokohnya merupakan saripati dari kehidupan yang telah dialaminya.
Keteguhan dan kekerasan hati seorang Panglima Besar Jenderal Sudirman semakin mengkristal menjadi sikap hidupnya sebab di belakangnya ada seorang perempuan yang sabar dan telaten, yang semakin meneguhkan watak bawaan itu. Sebaliknya watak bawaan itu tak akan mengkristal menjadi sikap hidup, ketika tidak didukung oleh peran perempuan yang berada di belakangnya. Darimana Bu Siti Alfiah memiliki sikap hidup sabar dan telaten sehingga mampu mendampingi keteguhan dan kekerasan hati seorang Sudirman? Secara spiritual jelas lahir dari kemengertian akan agama Islam kedua orang tuanya sebagai tokoh Muhammadiyah di Cilacap waktu itu. Dan secara kultural, sikap hidup Bu Siti Alfiah lahir dari model perempuan Jawa secara umum. Nilai-nilai kultural yang telah terserap dalam sikap hidup perempuan Jawa misalnya tentang kias lima jari yang diajarkan Nyai Hartati kepada putrinya, Rancangkapti dalam Kitab Serat Centini. Jempol itu kependekan dari pol ing tias. Artinya ketika seorang perempuan jadi istri harus berserah diri sepenuhnya kepada suami. Telunjuk atau penuduh itu artinya seorang istri jangan sekali-kali berani membantah thudung kakung. Jari tengah atau penunggal itu mengkiaskan seorang istri harus selalu menunggalkan suami dan menjaga martabat suami. Jari manis mengkiaskan seorang istri harus tetap manis air mukanya dalam melayani suami. Jelentik atau kelilingking itu mengkiaskan athak ithikan, terampil dan banyak akal dalam melayani suami. Melayani suami itu cepat tapi lembut. Dan perempuan Jawa yang mengadopsi kias jari itu tentu saja Siti Alfiah yang kemudian tercermin dari sikap dan pikiran-pikirannya ketika menjadi istri Panglima Besar Sudirman.
Apresiasi tinggi saya sampaikan kepada Kang E. Rokajat Asura – penulis novel ini – yang telah berhasil menghidupkan tokoh-tokohnya. Sehingga fakta-fakta sejarah tidak menjadi baku dan kaku seperti dalam buku-buku teks sejarah. Saya sadar sekali menulis sebuah novel sejarah berbeda dengan novel pada umumnya. Pekerjaan terberat adalah ketika menemui fakta-fakta sejarah. Tentu kalau fakta sejarah itu dipergunakan apa adanya, yang lahir bukan sebuah roman, tetapi buku sejarah. Bagi seorang sejarawan semua fakta sejarah adalah memiliki nilai yang sama, memiliki derajat yang sama. Tapi bagi seorang penulis, fakta sejarah memiliki bobot yang berbeda-beda. Dengan demikian sebelum ditafsirkan, fakta-fakta sejarah itu sendiri telah mengalami proses seleksi, dipilih dan dipilah, sehingga fakta-fakta itu akan menjadi bagian integral dalam sebuah rangkaian cerita yang utuh. Dalam kaitannya dengan hal ini, menurut hemat saya novel Sudirman Alfiah : Kisah-Kisah Romantis Panglima Besar Jenderal Sudirman, telah berhasil melewati pekerjaan berat itu.
Sebagai penutup saya tertarik untuk mencuplik bagian lain dari novel ini. Kali ini tentang bagaimana Siti Alfiah menghargai sebuah kenangan. Menurut hemat saya hanya seorang istri yang mengabdi dengan ikhlas kepada suaminya sesuai dengan tuntutan agamanya, yang akan memiliki kemampuan untuk menghargai sekecil apa pun dari apa yang telah dilakukan suaminya itu.
“Matur nuwun, Mas, aku suka sekali,” batinnya. Lalu tangannya refleks mengusap rambut ikalnya. Sekarang ia tak pernah memakai jepit lagi. Tetapi benda penuh kenangan itu selalu disimpannya rapih di dalam lemari, serapih ia menyimpan kenangan di hatinya. Kelak, kepada anak perempuannya, jepit itu akan dihadiahkan pada saat-saat istimewa. Tentu bukan nilai barangnya yang dihadiahkan, melainkan lengkap dengan nilai kenangan yang terkandung di dalamnya. Dua anak perempuannya sekarang telah lahir, entah kepada siapa jepit pemberian Sudirman itu pertama kali akan dihadiahkannya.
Terlalu panjang kalau menceritakan secara detail isi novel ini. Saya yakin para pembaca akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk melakukannya.
Terima kasih. Terus berkarya Kang E. Rokajat Asura. Para pembaca akan selalu menunggu novel-novel inspiratif lainnya.
Oleh: Dra. Hj. Khofifah Indar Parawansa, M.Si., Menteri Sosial RI, dalam Kata Pengantar Buku Soedirman & Alfiah, Kisah-Kisah Romantis Panglima Besar Jenderal Soedirman (Penerbit Imania, 2017)