TEMBANG PENGANTAR MEMAHAMI TUHAN SECARA ISLAM ALA SUNAN KALIJAGA (2)

Oleh: Parni Hadi 

Tumbuh Di Tanah Yang Subur

Pendekatan budaya yang dilakukan Njeng Sunan Kali dalam memperkenalkan Islam ibarat menyebar biji di tanah yang subur. Orang Jawa, penduduk Pulau Jawa, menurut buku “Bawarasa Kawruh Kejawen: Ngelmu Hidup” (Senandung rasa tentang Ilmu Kjawen; Falsafah Bekal Hidup) karya Ki Sondong Mandali, menyebutkan, sebelum agama Syiwa (Hindu)-Budha dan Islam masuk, orang Jawa sudah memiliki sistem religi sendiri.

Orang Jawa memiliki ritual menyembah (manembah) Tuhan berdasar tiga konsep:

  1. Menyembah/berbakti kepada Tuhan, penguasa alam semesta dengan selalu eling (sadar) terus menerus.
  2. Melakukan hubungan baik dengan alam semesta dan seluruh isinya, termasuk melakukan  berbagai ritul ‘sesaji’.
  3. Melakukan hubungan antar sesama manusia dengan berkeadaban.

Ketiga konsep itu sama dengan ajaran Islam. Konsep pertama disebut hablum-minallah, konsep kedua terkait dengan rahmatan lil ‘alamiin dan konsep ketiga hablum-minannas. Yang banyak disebut hanya yang pertama dan kedua, yakni hablum-minallah dan hablum-minannas. Seorang ustadz yang tertarik dengan tasawuf, mengatakan mestinya hablum-min’alam perlu juga disebut.

Jadi, ada trilogi semboyan mengabdi kepada Alllah:

  1. Hablum-minalla
  2. Hablum-min’ala
  3. Hablum-minannas

Dengan alasan semua makhluk isi alam semesta ini, termasuk makhluk halus, binatang dan tanaman adalah sesama saudara ciptaan Allah, orang Jawa melakukan sesaji untuk menghormati saudaranya dan para leluhurnya, bukan untuk menyembah. Praktek sesaji ini dianggap musyrik atau klenik.

Sunan Kalijaga mengubah sesaji ini dengan sedekah. Toh, makanan dan minuman yang disajikan untuk makhluk halus halus dan arwah para leluhur itu akhirmya juga dimakan manusia dan atau binatang, makhluk hidup ciptaan Allah jua. Makhluk halus hanya ingin dan cukup menghirup bau atau sarinya saja.Wallahu a’lam.

Sunan Kali juga menggunakan simbol burung yang diberi nama “Segara Rob” dalam melukiskan betapa sulitnya mencari, menemukan dan manunggal dengan Tuhan. Mistikus Islam, Abū Ḥamīd bin Abū Bakr Ibrāhīm Farīd ud-Dīn ʿAṭṭār (1145-1221) menggunakan simbol burung “Simurgh”. Dikisahkan, ribuan Simurgh ingin mencari Tuhan. Dari ribuan, tinggal 40 dan tersaring lagi tinggal empat ekor. Dan burung itu menemukan Tuhan itu ternyata dirinya sendiri. Jumlah empat itu dalam khasanah budaya spiritual Jawa dikemas dengan istilah “sedulur papat kelima pancer“ (empat saudara, kelima pusat, dirinya sendiri).

Angka empat juga dikaitkan dengan arah mata angin, empat unsur bahan manusia, yakni bumi (tanah), air, api dan angin, dan empat nafsu manusia, yakni amarah, lawwamah, sufiah dan mutmainah dengan empat warna masing-masing, yakni merah, hitam, kuning dan putih. Juga dikaitkan dengan empat sahabat Nabi Muhammad (saw). Mungkin serba “othak-athikl, mathuk-gathuk” atau dicocok-cocokkan. Yang jelas, penyebaran Islam di Tanah Jawa bisa mudah masuk berkat pendekatan budaya lokal.

Fenomena Universal

Prinsip-prinsip Islam purba, istilah yang digunakan dalam buku “Nonviolent Soldier of Islam” karya Eknath Easwaran, menyebut persaudaraan universal, ketakwaan kepada Tuhan dan mengabdi kepada Tuhan dengan cara memelihara seluruh ciptaan-Nya. Buku itu diterbitkan oleh Bentang Yogyakarta, 2008 itu dengan judul Badshah Khan, Kisah Pejuang Muslim Anti Kekerasan yang terlupakan. Ia adalah sahabat, pengikut setia Mahatma Gandhi, sehingga ada yang menjuluki keduanya sebagai “Dua Gandhi”.

Menggubah tembang  (dan atau puisi) sebagai alat penyampaigagasan dalam pendidikantasawuf, sufisme dan makrifat dilakukan sejak dulu kala, sebelum Sunan Kali Jaga lahir (diperkirakan lahir 1430 M). Berikut adalah beberapa contoh: Bhagavad Gita (bagian Mahabaratha) karya Resi Vyasa,Minhajul’ Abidin (Menuju Mukmin Sejati) karya Al Ghazali (1058-1111M), Mastnawi karya Jalaluddin Rumi (1207-1273M), Gitanjali karya Rabindranath Tagore, peraih hadiah Nobel bidang sastra pertama dari Asia tahun 1913 dan para penyair pemula, perintis sastra Indonesia (Nusantara) seperti Nuruddin Araniri dan Hamzah Fansuri. Sunan Bonang, guru Sunan Kalijaga juga menggubah tembang “Suluk Wujil” dan mencipta alat musik gamelan Jawa, yakni bonang.

Tentang penyatuan dengan Tuhan, Kidung Sunan Kali mulai membahasnya di bait 15 sampai 18.Manunggaling Kawula Gusti adalah hal yang musykil. Banyak orang yang mencela itu keliru dengan alasan tidakmungkin hamba bertmu dengan Khalik, Tuhan Sang  Maha Pencipta. Yang pro menjawab, ini bukan pertemuan fisik, tetapi pertemuan “rasa”, sesuatu yang gaib, misterius, mistik, unik dan hanya bisa dicapai para salik dan manusia terpilih dan hanya dengan ijin Tuhan belaka.

Soal manunggalnya manusia dengan Tuhan itu, seorang tua pernah berkata “Allah iku sak jatine ora liya ya Ingsun”. Artinya, Allah itu sejatinya tidak lain saya Ingsun (Saya). Konon itu kutipan dari sebuah hadits, yang berbunyi “waman ‘arafa nafsahu faqad’ arafa rabbahu.(Siapa yang tahu dirinya, sungguh ia tahu Tuhannya”. Ungkapan ini jika diterima harfiah bisa geger, Syeh Siti Jenar, salah seorang wali, konon dihukum mati karena ucapannya tentang itu, yang menganggap dirinya Allah.

Karena itu, buku “Kunci Swarga” (Miftahul Jannati), melengkapi ungkapan itu dengan:  waman ‘ arafa rabbahu faqad jahilla nafsahu”, Artinya, Siapa (yang merasa) tahu Tuhannya sejatinya ia benar-benar bodoh dalam ilmu).

Buku karya Ki Brata Kesawa dalam Bahasa Jawa yang terbit tahun 1952 ini mengungkapkan, yang dianggap sebagai Allah oleh orang yang mengaku tadi hanyalah “bayangan”-Nya.  Buku ini mengibaratkan ada seribu “jembangan” (tempayan dari tanah liat) berisi air di alun-alun, di masing-masing jembangan ada “bayangan” matahari. Mataharinya, tetap satu, bukan seribu. Ini ajaran tentang Tauhid (ke-Maha-Esa-an Tuhan). Agar bisa melihat bayangan matahari dengan jelas, air harus dijaga tetap bening, tidak keruh, dan tenang, tidak beriak.

Sunan Kali dalam kidung itu mempergunakan diksi Mami,Wang (ingwang) dan Ingsun, yang berarti aku atau saya. Ini sesuatu yang pelik, rumit dan susah, tapi dilukiskan secara indah dengan ungkapan “bertanya tentang  sarangnya angin, “galih kangkung” (inti batang kangkung), mengambil air dengan pikulan yang terbuat dari air”, mengambil api dengan pelita dan batas antara samudera dan langit. Sesuatu yang  sudah “jumbuh” (manunggal).

Dalam cerita wayang kulit, kisah itu terdapat dalam lakon “Dewa Ruci”. Bima menyemplungkan dirinya ke dalam samudra yang bergolak (lambang nafsu)  dan di kedalaman samudera ia menemukan Dewa Ruci, Tuhannya, yang rupanya persis seperti dirinya. Walau wujudnya kecil, sepert “anak bajang”sebesar kelingking Bima, tapi Bima bisa masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci melalui kuping kirinya dan di dalam diri Dewa Ruci, ia mendapatkan ajaran kesempurnaan hidup. Bima telah mencapai makrifat dan katrem (tenggelam) dalam nikmat Ilahiah yang tidak ada bandingannnya. Ia tidak merasa lapar, haus, khawatir. Yang ada hanya perasaan tenteram, aman dan damai. Ia tidak punya keinginan apapun. Ia minta ijin untuk menetap di dalam diri Dewa Ruci, tapi ditolak karena tugas atau darma hidupnya di dunia belum selesai, yakni melalukan ‘amar ma’ruf dan nahi mungkar’untuk membinasakan angkara murka yang menjelma dalam wujud Kurawa lewat Perang Bharatayudha. Istilahnya Bima harus “tapa ngrame” (bertapa di tempat ramai dengan melalukannya tanpa pamrih.

Untuk mengendalikan hawa nafsu dan menjernihkansertamenenangkan pikiran, perasaan dan jiwa, Sunan Kalijaga menyarankan sang pencari Allah berpuasa, menahan hawa nafsu sambil berzikir.Zikirnyaberbunyi :” Ya Hu Dat (Dzat)”, yang kemudianberkembangdalampraktekmenjadi: “Ya Hu Allah, Hu Allah, Allahu”.

Rumi (1207-1273M)dalam“Fihi ma Fihi” melukiskan dualisme yang manunggal itu. Dr. Wheeler Thackson menerjemahkan “Fihi ma Fihi”, yang berisi ceramah, diskursus and dialog tentang berbagai topik sebagai “Signs of the Unseen” (Tanda-Tanda Yang Tidak Dapat Dilihat). “In It, What is In It” (Di dalam, tapiapa yang di dalam). Orang Jawa memilih ungkapan “Ana ning ora ana, ora ana ning ana” (Ada, tapi tidak ada, tidak ada, tapi ada). Bingung? Tidak perlu bingung, coba lakukan mengidung dan atau berzikir dengan penuh perasaan (penghayatan), Insya Allah, akan terbuka hijab atau tabir itu dengan bimbingan seorang guru (mursyid), yang sudah mengalami sendiri.

Selalu bersama Tuhan

Zikir dan wirid adalah mengucapkan (reciting) secara berulang-ulang sebagai sarana untuk mengingat Tuhan. Ada yang berpendapat zikir atau wirid di dalam hati (batin) dan atau boleh sambil berguman lebih baik daripada dibaca keras-keras. Isi zikir dan wirid adalah puji-pujian persembahan kepada  keagungan Tuhan, sekaligus doa. Demikian pula kidung. Di agama Hindu dikenal ada mantra dan Mazmur di agama Kristen. Tujuan semuanya adalah agar kita selalu ingat kepada Tuhan. Orang Jawa bilang eling (sadar, terjaga, waspada) atas kehadiran Tuhan di sembarang tempat dan waktu, karena Tuhan tidak pernah mengantuk dan tidur. Bagi kaum pencari hakikat, sholat (sembahyang) yang terbaik adalah “sholat daim”, yakni sholat sepanjang waktu, di sembarang tempat dan sedang melakukan apa saja.Apa yang dipikirkan, dikatakan dan dikerjakan diniatkan sebagai ibadah, menyembah Tuhan dalam pengawasan, penjagaan, penyelenggaraan dan pemeliharaan Allah.

Apa manfaat Suluk Kidung Kawedar di era modern, teknologi digital dan medsos (media sosial) yang serba instan kini. Tentu ada dan bahkan banyak, di-antaranya memperluas wawasan pemikiran, mengetahui sejarah bangsa yang kaya, mempelajari strategi penyebaran ilmu secara damai dengan pendekatan budaya (kearifan) lokal dengan khasanah tak terbayangkan yang perlu dilestarikan dan dapat “dijual” sebagai obyek wisata spiritual. Yang paling pokok, kidung itu menawarkan keselamatan sebagai sumber kebahagiaan dan kedamaian batin (peace of mind).

Yang saya maksud dengan wisata spiritual, tentu bukan “klenik”, tapi sesuatu yang bisa  diverifikasi secara ilmu pengetahuan modern, terutama medis. Bentuknya, layanan pengobatan holistis (menyeluruh), yang menggabungkan cara pengobatan medis Barat dan Timur, khususnya Nusantara, meliputi obat herbal, pijat (fisioterafi), layanan kesehatan jiwa (psikologi) dalam bentuk kontemplasi dan meditasidengan mengidung dan berzikir yang diiringi alunan musik Nusantara yang ritmistis, kontemplatif, dan meditatif. Gamelan Jawa, hanyadengan beberapa alat, yakni siter, gender, dan gambang, mampu menyajikan situasi kebersamaan, kerukunan, dan keselarasan hidupbersama seluruh alamsemesta (hablunmin’alam). Untuk gamelan Sunda, mungkin bias dengan kecapi dan suling. Untuk jenis musik  Nusantara lainnya dapat menyesuaikan. Perlu keterlibatan etno musikolog. Untuk itu, Mas Wie dan kawan-kawan tengah menyusun JejaringMacapatan Nusantara, sebab Macapat (membaca empat-empat dengan bersenandung dan iringan musik/gamelan) terdapat di beberapawilayah Nusantara.

Pelayanan pengobatan holistik, perlu keterlibatan dokter, ahli farmasi, psikolog, fisioterapis, budayawan dan ruhaniawan, terutama “salikien” (para pelaku suluk), lintas agama/keperacayaan. Plus peralatan uji klinis modern.

Apa Suluk Kidung Kawedar tidak perlu “purifikasi” (pemurnian), mengingat sudah berusia lima abad lebih dan ada kesan bernuansa campuranpraktik ritual berbasis budaya Jawa dan Islam? Sebagai orang yang bukan ahli agama Islam, saya lebih cenderung memakai istilah “penyempurnaan”. Peminat, pembelajar, dan mungkin pengikut (yang mempraktikkan) kidung meliputi berbagai pengikut agama dankepercayaan. Sejumlah “romo” (pastur), pimpinan agama Katolik melakukan riset mendalam tentang budaya Jawa. Diantaranya, Romo J.P. Zoetmulder, yang desertasinya berjudul “Manunggaling Kawula Gusti”, yang sudah dibukukan. Sebelumnya, ia menulis buku “Kalangwan” (Mempesembahkan yang Serbaindah).

Pengalaman batin merasa bersatu dengan Tuhan, bagi yang pernah mencicipinya, sungguh sangat menggairahkan, membahagiakan dan mendamaikan, tiada bandingannya dengan kenikmatan duniawi.Serbaindahdandamai.

Rabindranath Tagore dalam salah satu puisinya melukiskan dengan indah kemanunggalan setiap saat dengan Tuhan sbb:

They who are sitting near me, do not knowthat You are nearer than they are,

They who are speaking with me, do not know that my heart is full with Your unspoken words,

They who are crowding in my path, do not know that I am walking only with You,

And they who love me, their loves bring You into my heart.

 

Terjemahan bebasnya:

Mereka yang duduk di dekat saya tidak tahu bahwa Engkau lebih dekat daripada mereka,

Mereka yang berbicara denganku, tidak tahu bahwa hatiku penuh dengan kata-kata Mu yang tak terucapkan,

Mereka yang berjubel di jalanku, tidak tahu bahwa aku berjalan sendirian bersama Engkau,

Dan, mereka yang mencintaiku, cinta mereka membawa Mu ke dalam hatiku.

 

Yang dimaksud You atau Engkau di sini adalah Tuhan. Tentu selalu mengingat Tuhan membuat seseorang selamat, terjaga dari perbuatan tercela atau maksiat, seperti korupsi.

Selalu eling memang penting. Tapi, tidak berarti sholat wajib, lima waktu tidak perlu atau boleh ditinggalkan. Tetap perlu, bahkan harus. Kitab piwulang (ajaran) Wedhatama sendiri menganjurkan agar Syariat (terutama sholat wajib, yang disebut sembah raga ) harus tetap dijalani sebagai tangga pertama, sebelumTarekat (sembah cipta/kalbu) dan Hakikat (sembah jiwa) menuju Makrifat (sembah rasa).

Nabi Muhammad Saw, sang sufi agung, tetap menjalankan syariat. Contoh kongkrit dari manusia biasa, yang terpilih dan masih hidup kini dan dapat dijadikan “mursyid (guru pembimbing) dalam belajar Tasawuf adalah Prof. Kyai Ali Yafie yang terkenal dengan motto hidupnya BSM (Bersih, Sederhana, dan Mengabdi). Mas  Bambang Wiwoho pernah menuliskan itu dalam bukunya “Bertasawuf di Zaman Edan”.

Rumi yang dikenal sebagai mistikus Islam paling top di dunia saja, sebagai penganjur CINTA, saja pernah dikutip sebagai mengatakan: “Saya cuma debu di jalan Muhammad”. Kanjeng Nabi Muhammad diyakini para pengikutnya sebagai manusia terpilih, paling mulia sedunia, yang pernah mencapai puncak makrifat tertinggi melalui peristiwa spiritualpaling agung, Isra Mikraj

Ada orang Jawa yang menyamakan dan menyebut “Isra Mikraj” dengan laku “merogoh suksma”
(ngrogoh suksma”, melakukan “mati sajroning urip” (mati dalam hidup), masih berbadan wadag, tapi suksma (nyawa)nya bisa pergimengembara ke alam gaib. Nabi Muhammad dikisahkan dalam “Mikraj” dapat berjumpa Allah. Tapi karena tugas hidupnya belum selesai, suksmanya diperintahkan Allah untuk kembali lagi ke dunia untuk mengajak pengikutnya, kaum Muslimin, melakukan shalat lima waktu. Begitu ceramah yang sering saya dengar dari kiai di kampong sekitar 60 tahun lalu.

Imam Al Ghazali menegaskan kaum Muslimin perlu “thaat”, disiplin dalam melaksanakan tata tertib, untuk menyembah Allah, mulai tertibbangun tidur, wudhu, shalat, berpuasa , dan sebagainya sampai tertib dalam pergaulan. Itu tertuang dalam salah satu buku Al Ghazali yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Bimbingan Permulaan Mencapai Hidayah”, karya alih bahasa HM. Asa’ad EH. Jadi, untuk belajar Suluk Kidung Kawedar karya Sunan Kalijaga juga perlu pembimbing.

 

 

Wallahualam.

 

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

three + four =