Tuhan, Dalang dan Problem Penafsiran

Oleh : Misnawi Almisery *

Dalam peluncuran buku ini, Sujiwo Tejo, si penulis, telah berpesan agar menjadikan buku ini sebagai latihan berpikir saja. “Selesai dibaca, lupakan. Hapus semua kata-katanya sehingga yang tersisa lembaran kosong”.

Pesan tersebut merupakan misi Sujiwo Tejo dan M.N. Kamba menulis buku Tuhan Maha Asyik ini, yaitu melepas semua belenggu pikiran sehingga sampai kepada kesejatian. Dalam menulis buku ini, pendekatan digunakan adalah common sense dan tasawuf. Sujiwo menggunakancommen sense yang bisa jumpalitan ke sana kemari. MN. Kamba menggunakan pendekatan sufistik sehingga keliaran bahasa dan pembahasan sang dalang bisa dipackaging dalam bungkus religi.

Sejatinya, Tuhan itu, kata Sutejo, mirip dalang. Manusia adalah wayang yang tidak punya kuasa apa-apa. Seluruh gerakan manusia hanyalah akting. Namun Tuhan biarkan hambanya merasa apa yang dia lakukan berasal darinya agar dunia ini dinamis.

Menurut M.N. Kamba, diri Tuhan dan diri manusia begitu dekat. Ruh manusia bagian dari ruhNya. Tuhan bersemayam lebih dekat dari urat leher manusia itu sendiri. Sehingga memastikan mana kehendak manusia atau kehendak Tuhan itu rumit.

Untuk mengetahui kehendak Tuhan, kata dosen tasawwuf UIN Gunung Jati ini, Tuhan menyatu dengan manusia lewat takhallitahalli dantajalli. Melewati tahapan tersebut, manusia bisa merasakan kehendak Tuhan, namun tidak bisa diucapkan dengan bahasa manusia. Mirip dengan orang yang jatuh cinta. Jadi sebelum bisa menyatu dengan Tuhan, tidak usah menghakimi manusia lain seolah itu kehendak Tuhan. Bahaya.

Kendatipun Tuhan Maha Kuasa,  Dia tidak lantas to the point dalam melakukan sesuatu. Ada sistem untuk dilalui. Ketika menciptakan Adam, Tuhan masih urun rembuk dengan malaikat. Dia ciptakan setan, nabi dan hukum alam. Padahal Tuhan bisa saja mencerahkan manusia tanpa rasul. Membuat orang kaya tanpa kerja.

Mirip dengan istilah Marhaen yang dipopulerkan Soekarno. Dikisahkan Marhaen adalah petani Jawa Tengah. Padahal ia adalah gabungan dari nama Marx, Hegel dan Angel. Bapak ideologi yang dianut Soekarno. Ia dikaitkan dengan sosok petani agar hakikat yang diperjuangkan Soekarno memiliki kisah yang menarik untuk disimak (hlm. 25)

Begitu juga dengan Tuhan. Membungkus hakikat dengan berbagai lakon dramatik agar hambaNya asyik menjalani hidupnya. Naifnya, manusia banyak lupa kepada hakikat dan terbuai dengan lakon. Mereka centang perenang membela kesucian Tuhan dari gempuran setan dan kelompok sesat seolah mereka adalah memiliki kuasa untuk mengalahkan Tuhan. Padahal semua lakon jahat, baik, setan, malaikat, neraka dan surga segala asesoris dalam hidup ini adalah desain Tuhan.

Kita juga lupa bahwa kitab suci yang kita baca adalah teks terbatas yang menampung firman Tuhan yang tidak terbatas. Inilah yang menyebabkan kekeliruan dalam menafsirkan teks kitab suci. Setiap orang merasa bahwa penafsirannya yang paling benar. Padahal tidak mungkin teks terbatas yang ditafsiri dengan pemahaman manusia yang nisbi melahirkan kebenaran ilahiah yang mutlak. Untuk itu, kata M.N. Kamba, kitab suci jangan dianggap kitab hukum yang hitam putih, melainkan media dialog pribadi kita dengan Tuhan guna menangkap nur ilahiah untuk diinternalisasikan dalam diri dan dieksternalisasikan dalam kehidupan sosial (hlm. 193).

Membaca kitab suci sebagai teks pada akhirnya menjadikannya sebagai korpus hukum saja, kehilangan ruh rabbani sehingga tidak jarang melahirkan beragam madzab yang berbeda, kejumudan berfikir serta kefanatikan yang justru membuat umat terbelakang. Sangat naif, kata M.N. Kamba, jika kitab suci tidak mengimbangi kemajuan sains.

Buku ini menyajikan ide-idenya dalam kisah dialog sehari – hari. Nama-Nama aktor dari seluruh kisah metaforis dalam buku ini mempresentasikan nama yang identik dengan agama tertentu. Misalnya Bukhori, Christine, Dharma dan Kapitayan. Mereka masih anak-anak. Polos. Namun radikal.

Membaca buku ini betu-betul melatih pikiran untuk mencerna gagasan penulis yang tidak lumrah. Misalnya, definisi syirik. Tudingan terhadap madzhab dan mufasir yang nampak buruk. Kurangnya simpati kepada pemangku agama. Juga tawaran definisi utusan dan wahyu yang nyaris lucut dari buhul kensepsi konvensional. Selain itu, Tuhan dan Kitab suci yang diurai tidak paripurna dibahas dan “sengaja” dibiarkan agar pembacanya menyelesaikan sendiri.

Saya menduga persoalah kuasa Tuhan dan orisinilitas firman Tuhan dalam teks kitab suci tidak selesai penulis buku ini urai lantaran dua tema itu merupakan persoalan abadi yang telah melahirkan dua mainstream hingga sekarang. Tentang kekuasaan Tuhan lahir Qadariyah danJabariyah. Fatalisme dan free will. Dua-duanya memiliki dalil yang sama-sama kuat baik secara naqliyah atau aqliyah.

Tentang teks kitab suci, muncul Muktazilah dan Ahlul Hadis. Bahkan dalam babakan sejarah, kontroversi keduanya memuncul inkuisisi. Kedua aliran ini telah melahirkan pemikir hebat dan ratusan kitab yang tentu tidak bisa disulap puas melalui buku kecil “asyik” ini.

Tulisan Misnawi Almisery, Kabar Madura, 31 Agustus 2017

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

four + 20 =