“Tokoh-tokoh ini, bukan tokoh-tokoh fiktif. Namun, benar-benar ada secara historis, arkeologis, maupun secara sosiologis.” Itulah pernyataan Agus Sunyoto, penulis buku Atlas Wali Songo ketika buku gubahannya, Atlas Wali Songo, meraih penghargaan sebagai buku terbaik 2014 versi Islamic Book Fair (IBF) dalam kategori Buku Nonfiksi Dewasa.
Guru Besar Arkeologi UI Prof Mundardjito pernah mengatakan, “Atlas Wali Songo karya Agus Sunyoto menyediakan latar belakang kesejarahan yang memadai dan dengan dasar ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. Uraian informasi yang dimulai dari ruang lingkup luas secara geografis dan kultural, mampu mengantarkan informasi yang spesifik, terinci, dan runut”.
Bukti-bukti kesejarahan Wali Songo dapat dilihat dari kacamata akademis sebagai fakta sejarah yang tidak terbantahkan. Agus Sunyoto sendiri juga sering mengatakan bahwa ia mempunyai literatur-literatur primer karya Wali Songo yang kesemuanya ditulis dalam tulisan Jawa.
Tidak ada satu pun karya Wali Songo yang menggunakan tulisan Arab Pegon, hal ini tidak berarti bahwa para wali tersebut tidak menguasai penulisan dalam bahasa Arab; penggunaan tulisan Jawa dalam karya-karya para wali merupakan hasil akulturasi budaya yang dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan tulisan-tulisan yang berkembang di masyarakat ketika itu, sehingga pesan yang disuguhkan dalam tulisan tersebut dapat tersampaikan dengan baik.
Selain melalui tulisan Jawa, bentuk penyesuaian dengan tradisi dan budaya setempat juga ditunjukkan melalui tembang, kesenian, dan syair-syair yang mereka ciptakan. Karenanya Agus Sunyoto meragukan gambaran tentang Wali Songo yang mengenakan pakaian jubah, yang merupakan pakaian model Arab.
Dalam konteks Sunan Kalijaga misalnya, jenis pakaian yang berkembang di tengah masyarakat kala itu adalah dodot, yakni semacam kain panjang putih yang dilingkarkan hanya sampai dada. Pakaian ini dipakai oleh para pendeta Hindu yang merupakan panutan masyarakat ketika itu. Para wali tahu bahwa pakaian jenis shafir (seperti jubah) sifatnya eksklusif, mereka menilai tidak boleh memakai pakaian yang sifatnya eksklusif seperti itu.
Para wali berpendapat jika sedang berada di tengah-tengah masyarakat, maka mereka akan berpakaian seperti masyarakat pada umumnya. Jadi, jika para Wali ‘tiba-tiba’ berpakaian jubah seperti yang umum digambarkan, maka menurut hukum yang berlaku di masyarakat ketika itu, tertolak atau tidak boleh. Jika dipaksakan, tentu kondisi ini tidak baik untuk keperluan dakwah Islam itu sendiri.
Lagi pula, para wali tidak mau berpakaian yang berbeda dengan masyarakat sekitarnya. Itulah mengapa dakwah Wali Songo sangat berhasil dalam meng-Islamkan Nusantara dengan cara Nusantara itu sendiri. Bukan dengan cara Arab, apalagi dengan menonjolkan simbol-simbol Arab.
Para wali memahami betul daya tarik serta fungsi instrumen tradisi dan budaya bagi masyarakat saat itu, seperti pertunjukan wayang yang tidak hanya dipahami sebagai bentuk kesenian, karena di dalamnya terdapat sisi-sisi spiritual dengan ritual yang khas. Disebutkan dalam buku tersebut bahwa wayang merupakan seni pertunjukan tertua sebagaimana tercatat dalam Prasasti Balitung berangka tahun 829 Saka (907 masehi).
Pertunjukkan wayang digelar untuk Tuhan (si galigi mawayang buat Hyang macarita bimmaya kumara). Selain itu, keberadaan pertunjukan wayang juga disebut dalam Prasasti Wilasrama (852 Saka; 930 Masehi), pertunjukan wayang dalam bahasa Jawa Kuno disebut Wayang Wwang.
Dalam rangka memposisikan seni pertunjukan wayang pada kedudukannya yang semula; sebagai pertunjukan yang bersifat spiritual dengan ritual khas, para Wali Songo melakukan pengambilalihan seni pertunjukan ini dengan sejumlah penyesuaian –termasuk kidung, tembang, dan berbagai aspek terkait lainnya– yang selaras dengan ajaran Tauhid dalam Islam.
Maka dalam konteks ini dapat disimpulkan bahwa wayang merupakan satu dari sekian banyak bukti arkeologis tentang sejarah penyebaran Islam di Nusantara yang dilakukan oleh para Wali.
Fakta di atas juga menunjukkan bahwa para wali tidak hanya berdakwah melalui penyesuaian terhadap tradisi dan budaya melalui karya tulis, tetapi juga merambah pada sisi seni yang kesemuanya menggunakan corak dakwah yang khas Nusantara.
Penyajian historiografi yang dilakukan di antaranya oleh Agus Sunyoto dan sejarawan lainnya mampu mengantarkan masyarakat di berbagai level untuk menelusuri jejak-jejak Wali Songo melalui fakta-fakta empirik, bukan hanya cerita-cerita mistik.
Hal ini juga membuktikan bahwa corak dakwah yang dibawa oleh para wali dalam membentuk Islam yang khas Nusantara merupakan pijakan yang dikemudian hari diteruskan oleh para ulama pesantren.
Dalam pandangan para wali yang dikaruniai sejumlah keistimewaan (karomah) dan ilmu agama yang mumpuni ini, dakwah tidak harus mencela segala sesuatu yang berbeda di hadapannya. Setiap perjalanan dakwahnya, Wali Songo memberikan pertolongan kepada masyarakat dalam bentuk apapun, terutama saat masyarakat dalam kondisi kelaparan dan bahaya karena mendapat gangguan dari para penjahat.
Mereka mengisi tradisi dan budaya yang berkembang di masyarakat dengan ruh keislaman sejati. Islam yang mengajarkan kebaikan, akhlak muliah, ramah, dan terbuka terhadap segala perbedaan serta keragaman yang dihadapinya.
Dalam dakwah Wali Songo, Islam hadir bukan untuk mengalahkan dan mendominasi tradisi, budaya, dan keyakinan yang berkembang di masyarakat saat itu. Tetapi Islam hadir untuk merangkul, memberikan pertolongan, dan mengangkat akhlak kemanusiaan, serta menampakkan ajaran yang adiluhung nan agung.
Tulisan ini pernah diterbitkan oleh http://www.wartaislami.com