Potensi Konflik Indonesia-Australia dan Ramalan Perang Besar Tahun 2037 (Seri 5)

Oleh: Faried Wijdan Al-Jufry, pernah dimuat di samudrafakta.com

Seri terakhir serial ramalan Nostradamus ini akan membahas kemungkinan terjadinya peristiwa yang pada dasarnya tak pernah diinginkan oleh negara dan bangsa mana pun di muka bumi ini: perang. Dan itu terjadi antara Indonesia dan Australia. Mungkin kita semua berharap ramalan tersebut meleset, namun di sisi lain, kita tak bisa menafikan fakta bahwa gejala-gejala menuju ke sana sudah muncul sedari sekarang.

Kuatrain 1/36

Un peu devant que le soleil’s excuse,
Conflict donne grand peuple dubiteux
Profliges, port marin ne faict response,
Pont et sepulchre en deux estranges lieux.
***

Tidak lama sebelum terjadinya gerhana matahari
Sebuah perang dipicu oleh satu bangsa kafir besar
Dengan sia-sia, pelabuhan tidak melawan balik
Jembatan dan tugu peringatan dipisahkan.

Menurut tafsir Mario Reading—penafsir ramalan Nostradamus dalam buku The Complete Properchies for The Future (diterjemahkan menjadi Ramalan yang Mengguncang Dunia, Penerbit Imania, 2022)—bakal terjadi gerhana matahari total yang diperkirakan berlangsung pada 13 Juli 2037. Gerhana itu bakal “memecah” Australia menjadi dua, dari utara ke selatan, memisah antara Sydney dan Brisbane, di mana batas itu berakhir di Pulau Selatan, yaitu Selandia Baru.

Menurut Mario, Australia adalah “bangsa kafir besar” yang dimaksud oleh Nostradamus. Disebut “negara kafir” karena konstitusi negara ini memisahkan urusan agama dengan negara, atau dalam bahasa umum disebut “negara sekuler”. Merekalah yang menurut Nostradamus memulai perang.

Secara ringkas, bab dalam buku Ramalan yang Mengguncang Dunia yang membahas tafsir Nostradamus itu menyebut bahwa, “Australia bakal menyerang negara yang ada pelabuhan, jembatan, dan tugu peringatan, dan penyebabnya adalah rebutan Laut Hindia”. Perselisihan dipicu oleh rebutan supremasi atas Lautan Hindia dan berkembang menjadi konflik senjata yang diramalkan bakal terjadi tahun 2037.

Ramalan Nostradamus, meski kerap kali tepat, memang belum tentu pasti terbukti—mengingat semua yang terjadi adalah kehendak Tuhan, bukan berdasar sangkaan manusia. Namun demikian, situasi bahwa suhu antara Indonesia dan Australia sedang menghangat adalah fakta yang tidak bisa ditolak, kendati tidak begitu ramai dibahas oleh media massa.

Sejarah Ketegangan Indonesia–Australia

Mungkin kita pernah mendengar kabar tentang polemik antara Indonesia dan Australia  soal Pulau Pasir Ashmore Reef tak kunjung usai. Ya, konflik itu masih berlangsung sampai sekarang. Ashmore Reef adalah kepulauan tropis kecil tak berpenghuni di Samudra Hindia. Lokasinya di sebelah barat laut Australia dan sebelah selatan Pulau Rote, Nusat Tenggara Timur (NTT), Indonesia.

Gugusan Pulau Pasir di Laut Timor berjarak 320 kilometer dari pantai Barat-Utara Australia dan hanya 170 km di sebelah selatan Pulau Rote, NTT. Menurut mandat hak ulayat masyarakat adat di Laut Timor, Gugusan Pulau Pasir itu merupakan hak milik masyarakat adat Timor-Rote-Sabu dan Alor sejak lebih dari 500 tahun lalu. Namun, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Teuku Faizasyah menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia justru mengakui Kepulauan Pasir masuk wilayah Australia. Menurutnya, Pulau Pasir tidak pernah menjadi bagian wilayah Hindia Belanda yang kini menjadi Indonesia. Selain itu, berdasarkan Ashmore and Cartier Acceptance Act pada 1933, Pulau Pasir adalah milik Inggris, di mana Inggris mewariskan Pulau Pasir kepada Australia. Seperti diketahui, Australia merupakan bekas jajahan Inggris yang kini berstatus persemakmuran.

Pada tahun 2020, Pemerintah Australia membuka proses konsultasi terkait Offshore 2020 Pelepasan Areal Eksplorasi Minyak Bumi. Proses tersebut mereka tempuh karena mereka menemukan lokasi pengeboran minyak lepas pantai yang berada di area potensial AC20-1, AC20-2, dan AC20-3. Area-area itu berjarak kurang lebih 150 km dari pantai Pulau Rote Ndao. Mereka juga menemukan area potensial lainnya, yakni area NT20-1,NT20-3, NT20-5, NT20-6, dan W20-2 yang jaraknya berkisar dari 250 kilometer dari pantai Australia. Keberadaan potensi sumber daya alam yang lebih dekat dengan wilayah Indonesia inilah yang akhirnya menjadi sebab perselisihan antara Aussie dengan Indonesia.

Ketegangan tersebut menambah panjang daftar pengalaman pahit Indonesia terkait hubungannya dengan Australia. Indonesia tentu tidak bisa melupakan “intervensi” Australia atas di Timor Timur pada 1999. Kenangan pahit tersebut seolah dibuka kembali ketika pada tahun 2009 minyak tumpah di Laut Timor setelah kilang minyak Montara, yang jaraknya 250 km dari Pulau Rote, meledak. Peristiwa ini menjadi mimpi buruk bagi masyarakat NTT, khususnya nelayan-nelayan di Pulau Rote, Pulau Timor, Sabu, Alor, dan sekitarnya. Nelayan-nelayan di sana juga menyaksikan adanya aktivitas pencucian minyak sebagai upaya menutupi kasus tumpahnya minyak yang berdampak pada hilangnya mata pencarian nelayan dan petani rumput laut itu.

Hubungan Indonesia-Australia juga sempat mengalami ketegangan pada 2006. Saat itu Australia memberikan suaka politik sementara kepada warga Papua yang berlayar ke Australia. Pada 2011, warga Australia mendesak pemerintahnya agar menghentikan ekspor sapi ke Indonesia setelah sebuah tayangan statsiun televisi ABC menunjukkan penjagalan dan penyiksaan sapi di Indonesia.

Pada tahun 2012, Indonesia mencurigai Australia memberikan dukungan kepada Organisasi Papua Merdeka (OPM) setelah sebuah toko di Perth memajang bendera organisasi separatis itu. Rencana Australia untuk memindahkan kedutaan di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem pada tahun 2018 juga menuai reaksi keras dari Indonesia. Protes dilayangkan oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, karena Australia dinilai menyalahi aturan internasional serta mengancam stabilitas dan perdamaian dunia.

Ancaman AUKUS

Di tengah sitegang Indonesia-Australia itu, pada 15 September 2021 lahirlah AUKUS, pakta pertahanan terbaru yang dibentuk oleh tiga negara yang memiliki pengaruh besar terhadap situasi politik dan keamanan dunia, yaitu Australia, Inggris (UK) Amerika Serikat (US). Aliansi In Hance Triateral Security Partnership ini dibentuk dengan agenda utama penguatan kerja sama militer dalam penggunaan senjata hipersonik, kontra-hipersonik, kemampuan peperangan elektronik, serta memperluas berbagi informasi dan memperdalam kerja sama dalam inovasi pertahanan.

Penggunaan senjata hipersonik ini menimbulkan kekhawatiran di seluruh dunia. Senjata generasi terbaru ini mampu mencapai target mana pun di dunia hanya dalam waktu satu jam. Rudal hipersonik memiliki kemampuan lima kali kecepatan suara, yakni 6.174 km/jam (3.836 mph), bahkan lebih. Dengan demikian, kecepatan rudal balistik ini dapat menempuh jarak hampir 2 km hanya dalam satu detik. Di bawah Pakta AUKUS ini juga Australia berencana mengembangkan kapal selam bertenaga nuklir bareng Inggris dan Amerika Serikat.

Pembentukan AUKUS ditengarai sebagai upaya melawan pengaruh China di kawasan Asia-Pasifik. AUKUS diharapkan dapat menjadi penyeimbang kekuatan pertahanan dan dominasi China atas penguasaan wilayah Laut China Selatan (LCS), yang selama ini menjadi sengketa antara China dengan negara-negara ASEAN. Sebuah manuver untuk melawan dominasi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang dinilai semakin agresif di kawasan Indo-Pasifik. Dan jika nanti benar-benar terjadi geger di Indo-Pasifik, kemungkinan besar AS dan Inggris akan ikut campur membantu Australia, karena mereka adalah sekutu dalam AUKUS.

Pakta ini, informasinya, memberikan akses Australia ke kapal selam bertenaga nuklir dan rudal jarak jauh teknologi AS. Jika dilihat dari perspektif misinya, AUKUS dibentuk untuk menjaga stabilitas keamanan Indo-Pasifik. Namun kemungkinan yang terjadi justru sebaliknya, di mana pakta ini bisa menjadi latar belakang beragam reaksi dari negara-negara dalam kawasan, salah satunya adalah Indonesia.

Indonesia sendiri, bersama Malaysia, menyatakan keprihatinan setelah pembentukan AUKUS diumumkan kepada dunia. Indonesia tidak ingin melihat perlombaan senjata dan proyeksi kekuatan yang berkelanjutan di kawasan, serta mendesak Australia untuk memenuhi kewajiban non-proliferasi nuklirnya.

Australia Membangun Angkatan Perang

Di sisi lain, berkembang informasi bahwa Angkatan Perang Australia sedang mempersiapkan upgrade alat pertahanan super canggih, berupa jet tempur FA-18F Super Hornet dengan rudal JASSM-ER buatan AS; Fregat Kelas ANZAC Australia; dan perusak Kelas Hobart bernama HMART yang berbasis di Garden Island, Sydney; dan pengembangan rudal Kongsberg Naval Strike Missile (NSM) buatan Norwegia, pada tahun 2024 nanti.

HMAS Hobart merupakan kapal perang paling canggih dan mematikan yang dioperasikan oleh Angkatan Laut Australia. Sistem rudal kapal perang ini sangat canggih yang memungkinkan Angkatan Laut untuk melihat, mengunci, dan menghantam pesawat, drone, bahkan rudal musuh, pada jarak lebih dari 150 km.

HMAS Hobart juga dapat mengidentifikasi beberapa target dan menembakkan banyak rudal secara instan. Kapal ini juga dilengkapi sistem sonar modern, umpan, torpedo yang diluncurkan di permukaan, dan berbagai senjata pertahanan jarak dekat yang efektif, yang memungkinkannya melakukan peperangan di bawah laut. Sedangkan Naval Strike Missile adalah  senjata penjelajah laut supercanggih yang mempunyai jangkauan 185 kilometer atau 115 mil. Australia terkesan sudah siap terlibat konflik senjata.

Nah, setelah mencermati fakta-fakta “persiapan perang” yang dilakukan oleh Australia—si “negara kafir” atau “negara sekuler” ini, mari kita kembali kepada tiga petunjuk Nostradamus tentang negara mana yang diserangnya. Nostradamus memberikan petunjuk jika negara yang bakal jadi sasaran “negara kafir” itu memiliki  “pelabuhan”, “jembatan”, dan “tugu peringatan”. Seluruh penggambaran tersebut sepertinya mengarah ke Surabaya, kota pelabuhan terbesar kedua di Indonesia setelah Tanjung Priok di Jakarta, dan rumah bagi lebih dari tiga juta orang. Monumen terbesar di Surabaya, Tugu Pahlawan, adalah tugu peringatan bagi para pahlawan yang meninggal dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dari 1945 sampai 1949. Dan Jembatan Merah yang terkenal itu merupakan tempat berlangsungnya Pertempuran Besar Surabaya, yang terjadi pada 10 November 1945.

Akankah Australia menggempur Indonesia dan mengambil pintu masuk melalui Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, yang berjarak sekitar 3.003 km dari Negeri Kanguru? Wallahu’alam.

CATATAN:

Mengenai ramalan Nostradamus lainnya, pembaca dapat langsung mengakses buku NOSTRADAMUS: Ramalan yang Mengguncang Dunia, Penerbit Imania, 2022. Bisa didapatkan di toko-toko buku online maupun offline.

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

seven + 16 =