Menagih Keberpihakan Prabowo Gibran pada Industri Perbukuan: Sebuah Catatan Kritis Hari Buku Nasional

Oleh: Faried Wijdan/ Pemimpin Redaksi Pustaka IIMaN Grup

Setiap 17 Mei, Indonesia memperingati Hari Buku Nasional. Momentum penting untuk meneguhkan kembali komitmen bangsa terhadap literasi dan budaya membaca. Ini bukan sekadar selebrasi, melainkan pengingat bahwa akses terhadap buku dan kemampuan membaca adalah fondasi dari kemajuan peradaban. Sudahkah Pemerintahan Prabowo Gibran berpihak pada industri perbukuan?

Mengutip dari buku kampanye Visi, Misi dan Program Prabowo Gibran 2024: Bersama Indonesia Maju, tertulis jelas di halaman 68, poin 35: “Memberikan insentif bagi industri buku dengan menghapus PPN untuk semua jenis buku dan menjadikan pajak royalti buku bersifat final.”

Sayangnya, enam bulan pemerintahan Prabowo Gibran, nasib industri buku nasional tak berubah signifikan. Tetap saja nelangsa dan terseok-seok. Malah banyak penerbit yang gulung tikar dan sebagian menuju senjakala.

Hapuskan PPN Buku

Jika pemerintah sungguh ingin membantu penulis, mudah saja: realisasikan janji kampanye di visi, misi, program, dan ubah pajak royalti menjadi final.

Merujuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 5/PMK. 010/2020, masih banyak lubang peraturan yang pada akhirnya tetap menyulitkan industri buku di lapangan. Adalah fakta, sebagian pegawai pajak tetap pada pendirian jika hanya jenis buku tertentu yang bebas Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yakni buku pelajaran umum, kitab suci, dan pelajaran agama.

Penerbit harus susah-payah menjelaskan jika buku mereka masuk kategori tiga hal ini. Sementara e-book yang dijual di Google Play Books, jelas sampai hari ini tetap dipungut PPN, apapun jenis e-book-nya.

Menurut penulis Tere Liye, PMK ini disusun dengan bahasa abu-abu, ‘muter-muter’, membuat pelaksanaan di lapangan tergantung tafsir pegawai pajak. Padahal, apa susahnya jika sejak awal ditulis dengan poin-poin jelas: (i) Semua penyerahan buku bebas PPN, baik fisik maupun e-book, apapun jenisnya sepanjang berbentuk buku; (ii) Ujung ke ujung proses buku juga bebas PPN.

Poin ini masih menjadi masalah besar di industri buku. Ada empat jenis penyerahan buku. Pertama, buku diserahkan dari percetakan ke penerbit; kedua, dari penerbit ke distributor/reseller/toko; ketiga, dari toko ke pembeli akhir/pembaca; keempat dari pembaca ke pembaca (buku second).

Jika merujuk semangat bahwa buku adalah bagian dari mencerdaskan kehidupan bangsa, serta visi, misi dan program presiden terpilih, seharusnya empat jenis penyerahan ini bebas PPN. Tapi, pada praktiknya, tak semua bebas PPN. Terutama saat buku diserahkan oleh percetakan ke penerbit.

Lagi-lagi, pegawai pajak akan berdalih, percetakan buku adalah kegiatan usaha terpisah, melupakan substansi jika yang diserahkan buku. Dus, percetakan buku tetap dikenakan PPN.

Pembajak Buku Masih Bebas

Di banyak platform e-commerce, buku bajakan dijual bebas. Bahkan terbilang sangat murah. Kita bisa melihat harga-harga buku di bawah dua puluh ribu, bahkan lima ribu. Apakah tidak terpikir perjuangan seorang penulis ketika membuat sebuah buku?

Buku bukan sekadar teks. Ia adalah hasil kerja panjang yang melibatkan riset, imajinasi, pengorbanan waktu, dan sering kali penderitaan. Ketika buku itu dibajak dan diperjualbelikan tanpa seizin penciptanya, maka kerja intelektual direduksi menjadi sekadar komoditas ilegal.

Ini ironis, karena pembajakan buku di negeri ini masif. Jutaan buku bajakan dijual bebas di marketplace, toko-toko fisik, yang serupiah pun tak bayar PPN saat dicetak, pun tak bayar royalti ke penulis, biaya lay out, editor, dan lain-lain.

Sementara, buku-buku original, yang dibebani semua biaya itu, harus tetap bayar PPN. Bagaimana harga buku original bersaing dengan buku bajakan?

Nasib Penulis Menyedihkan

Kemenkeu memang menurunkan tarif pajak royalti dari 15 ke 6 persen (PER-01/PJ/2023, berlaku sejak 16 Maret 2023). Tapi itu sama saja bohong. Berapapun tarifnya, karena penulis tetap membuat SPT Tahunan menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto dan tarif progresif, pajak penulis tetap sama.

Bahkan, saat pajak royalti ditetapkan nol persen, saat melapor SPT Tahunan, tetap akan disesuaikan dengan tarif progresif. Tak ada beda.

Pegawai pajak harusnya tahu peraturan baru ini ‘menipu’, karena tak berdampak apapun pada pajak sesungguhnya, kecuali jika pajak penulis diubah jadi pajak final.

Dalam situasi buku-buku dibajak secara masif, jika pemerintah ingin membantu penulis, mudah saja, laksanakan janji kampanye: ubah pajak royalti menjadi final. Misal, final 0,5 persen seperti UMKM, maka pelaporan pajak penulis akan jauh lebih sederhana. Tak lagi repot menghitung ulang tarif pajak progresif atas royalti.

Pekerja Penerbitan Menangis

Bukan hanya penulis yang menangis, tetapi juga para pekerja di penerbitan, toko buku, serta semua pihak dari hulu ke hilir.

Untuk menyelamatkan nasib buruh industri perbukuan, Pemerintah dapat membeli buku dari penerbit melalui berbagai cara, termasuk dengan memberikan stimulus, subsidi, atau dengan melakukan pembelian langsung.

Pemerintah dapat memberikan stimulus atau subsidi kepada penerbit untuk mendorong produksi dan distribusi buku, terutama buku pelajaran dan buku yang mendukung pendidikan.

Pemerintah juga dapat memberikan fasilitas seperti bebas PPN untuk buku pelajaran dan kitab suci, yang secara tidak langsung mendorong pembelian buku dari penerbit.

Pemerintah pun dapat melakukan pembelian buku secara langsung dari penerbit untuk memenuhi kebutuhan sekolah, perpustakaan, atau lembaga pendidikan lainnya.

Namun, faktanya, Pemerintah terkesan acuh merespons kondisi industri buku yang semakin sulit.  Perlakuan pemerintah terhadap industri buku sangat berbeda dengan industri lain, misalnya industri perbankan.

Ketika ada perusahaan perbankan yang mengalami kesulitan finansial, pemerintah sangat cepat merespons melalui berbagai bantuan finansial. Industri penerbitan buku benar-benar dibiarkan untuk hidup sendiri, tak ada dukungan seperti industri lain.

Padahal, dalam UU Nomor 3/2017 tentang Sistem Perbukuan, pemerintah menurutnya memiliki kewajiban untuk menjaga keberlangsungan industri buku, salah satunya toko buku. Pasalnya, toko buku adalah salah satu titik distribusi bahan bacaan kepada masyarakat.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) di era Nadiem Makarim sejatinya pernah meluncurkan program pencetakan dan distribusi 27 juta buku bacaan bermutu ke lebih dari 9.000 sekolah dasar di seluruh Indonesia. Program ini diharapkan mampu memperluas akses buku dan memperkuat literasi sejak usia dini.

“Program ini menjadi langkah awal untuk menjawab tantangan rendahnya kemampuan literasi anak-anak Indonesia akibat kurangnya kebiasaan membaca sejak dini,”  kata Nadiem Makarim dalam peluncurannya.

Kejar Digitalisasi, Abai pada Buku

Ada unggahan video yang menarik ketika Wakil Presiden Gibran menyampaikan bonus demografi. Di saat yang sama, ia juga mengampanyekan pentingnya penguasaan kecerdasan buatan (AI) bagi anak muda Indonesia.

Bahkan di berbagai forum, wapres menyampaikan bahwa masa depan bangsa sangat bergantung pada kemampuan generasi baru dalam menguasai teknologi mutakhir. Anak SD pun diajari cara bikin PR pakai AI.

“Kalian tinggal masukkan soal, keluar jawaban. Simpel,” Begitu katanya.

Di satu sisi, wacana ini terdengar menggugah. Kita didorong untuk menjadi pemain global, kreatif, adaptif, dan cerdas memahami algoritma. Namun, di sisi lain, tampaknya kita begitu semangat mengejar digitalisasi sampai-sampai abai pada buku, warisan intelektual yang menjadi fondasi peradaban.

Data terbaru menunjukkan adanya peningkatan dalam indeks literasi masyarakat Indonesia. Berdasarkan Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) yang dirilis Perpustakaan Nasional, skor nasional meningkat dari 64,40 pada 2022 menjadi 73,52 pada tahun 2024.

Sementara itu, Tingkat Gemar Membaca (TGM) nasional juga naik menjadi 72,44, yang dikategorikan dalam level “sedang”.

Namun di balik capaian tersebut, tantangan besar masih membayangi. Laporan UNESCO menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen, atau satu dari seribu orang yang benar-benar gemar membaca secara aktif. Dalam laporan PISA 2022, skor literasi membaca siswa Indonesia berada di angka 371, jauh di bawah rata-rata negara OECD.

Hari Buku Nasional seharusnya menjadi waktu untuk merenung, bukan sekadar dijadikan unggahan Instagram atau acara simbolis di perpustakaan.

Kita harus mulai menata ulang prioritas. Teknologi tidak akan berarti apa-apa jika masyarakatnya tidak membaca. Buku adalah rumah bagi pikiran yang runtut. Jika kita mengabaikannya, maka kita mengabaikan kesempatan untuk menjadi bangsa yang benar-benar berdaulat dalam pikiran.

Teknologi boleh kita rayakan. Namun, buku tidak boleh kita lupakan. Karena dari sanalah seluruh peradaban bermula, dan juga akan kembali.

Di tengah arus informasi yang semakin cepat, buku tetap menjadi pelabuhan terbaik untuk menumbuhkan generasi yang berpikir kritis, bijak, dan beradab!

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

sixteen + nine =