Membincang SANG GURU

Jakarta, 19 September 1945

Gedung Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang berlokasi di Lapangan Banteng, Jakarta itu semakin ramai. Seluruh anggota Kabinet Presidensial dan KNIP sudah berkumpul, duduk di tempatnya masing-masing. Bung Karno dan Bung Hatta, pemangku kekuasaan tertinggi Pemerintah Indonesia pasca proklamasi duduk di barisan meja paling depan. Berdampingan dengan Menteri Sekretaris Negara Abdul Ghofur Pringgodigdo, Menteri Luar Negeri Mr. Ahmad Soebadjo, dan Menteri Sosial Mr. Iwa Koesoema Soemantri. Sementara aku duduk berdekatan dengan Kasman Singodimedjo dan Adam Malik.

Tepat pukul 10:00 wib Bung Karno—selaku Pimpinan Rapat—membuka musyawarah besar yang dihadiri oleh para pejabat tinggi negara itu. Banyak sekali agenda yang dibahas pagi itu. Termasuk membahas rencana pendirian Bank Negara Indonesia (BNI) yang sudah cukup lama diusulkan oleh Mr. Margono. Tapi yang menjadi agenda paling penting dalam Rapat Kabinet dan KNIP itu adalah soal pelaksanaan Rapat Umum di Lapangan Ikada yang digagas oleh Komite Aksi untuk memperingati satu bulan kemerdekaan Indonesia.

“Saat ini Lapangan Ikada sudah menjadi lautan manusia. Mereka datang dari berbagai wilayah, susul-menyusul tanpa henti,” kata ketua Komite Aksi, tegas. “Menurut petugas lapangan, jumlah mereka lebih dari 300.000 orang.”

Perkataan pemuda yang duduk di barisan meja nomer dua itu membuat semua orang yang ada di Gedung KNIP kaget. Tidak ada yang menyangka, jika massa yang datang di Lapangan Ikada akan sebanyak itu.

“Jika rakyat yang berkumpul di Lapangan Ikada sebanyak itu, sebaiknya Rapat Umum itu dibatalkan saja!” kata Bung Karno dengan wajah tegang.

Perkataan Bung Karno membuat anggota rapat terpecah menjadi dua golongan. Satu golongan menghendaki agar Rapat Umum di Lapangan Ikada itu tetap dilaksanakan. Demi menjaga kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Sementara golongan yang lain sepakat dengan Bung Karno untuk membatalkan acara yang sudah digagas oleh Komite Aksi sejak dua minggu sebelumnya.

“Alangkah baiknya jika Rapat Umum itu tetap dilaksanakan! Rakyat sudah menunggu Bung Karno sejak subuh!” tukas salah seorang anggota Komite Aksi. “Rapat Umum itu akan menjadi jalan pemerintah mendapatkan kepercayaan penuh dari rakyat. Selain itu, pelaksanaan Rapat Umum di Lapangan Ikada itu menjadi sangat penting karena dihadiri oleh rakyat yang sangat besar jumlahnya. Menunjukkan bahwa rakyat Indonesia benar-benar mendukung kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.”

Bung Karno diam. Sekali, dua kali. Laki-laki berusia 44 tahun itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu menghembuskannya pelan-pelan. Dengan suara sedikit bergetar, putra Raden Mas Soekemi Sosrodihardjo itu berkata, “Terus terang, aku masih bingung untuk mengambil keputusan. Di sini masih banyak anggota KNIP yang khawatir jika jumlah massa yang banyak itu justru memancing kemarahan Dai Nippon. Sebab sudah jauh-jauh hari orang-orang dari Negeri Sakura itu melarang rakyat untuk berkumpul secara berkelompok, lebih dari lima orang.”

Jawaban Bung Karno membuat Komite Aksi bertambah geram.

“Ingat, Bung! Jika Rapat Umum ini sampai gagal, maka kemerdekaan Indonesia tidak akan ada artinya karena pemerintah telah kehilangan kepercayaan dari seluruh rakyat!” tegas ketua Komite Aksi.

“Aku juga tidak dapat bergerak sendiri tanpa dukungan dari pemimpin Indonesia yang lain!” tukas Bung Karno dengan raut muka yang mulai memerah.

Kejadian itu membuat suasana di dalam Gedung KNIP menjadi tegang. Silang pendapat antara Bung Karno dan Komite Aksi semakin memanas. Untunglah kejadian itu tidak berlangsung lama, karena Mr. Ahmad Soebardjo berhasil mencairkan ketegangan antar dua kubu yang sedang berseteru itu.

“Jadi, sapalah rakyat yang ratusan ribu jumlahnya itu, Paduka Presiden!” kata Mr. Ahmad Soebardjo dengan arif. “Mereka datang ke Lapangan Ikada untuk paduka. Rakyat sangat mencintai paduka!”

Kata-kata Mr. Ahmad Soebardjo membuat kedua mata Bung Karno berkabut. Sang Proklamator itu diam, mendengarkan nasehat Menteri Luar Negeri itu dengan takzim.

“Rapat Umum di Lapangan Ikada ini akan menjadi wujud nyata proses demokrasi Indonesia yang harus diketahui bangsa-bangsa lain di seluruh dunia, Paduka Presiden!” lanjut Mr. Ahmad Soebardjo. “Bahwa Indonesia memang sudah merdeka secara mandiri. Indonesia memiliki rakyat, memiliki wilayah, dan memiliki sistem pemerintahan sendiri.”

Tidak hanya Bung Karno dan Bung Hatta yang mengangguk-anggukkan kepala. Tapi hampir semua orang yang ada di Gedung KNIP ikut manggut-manggut mendengar perkataan Mr. Ahmad Soebardjo.

Pukul 16:00 wib. Bung Karno mengambil sikap tegas. Sebagai presiden, tak baik baginya hanya berpangku tangan. Membiarkan rakyat menunggu tanpa kepastian. Dengan suaranya yang lantang, Bung Karno berkata tegas di depan anggota Kabinet Presidensial dan KNIP, “Saudara-saudara meneteri yang ada di sini, dengarkanlah keputusanku. Saat ini aku akan pergi ke Lapangan Ikada untuk menenteramkan rakyat yang sudah berjam-jam lamanya menunggu keputusanku. Oleh karenanya, siapa saja di antara saudara-saudara menteri yang ingin ikut dipersilahkan. Tapi bagi saudara-saudara menteri yang ingin tetap tinggal di sini juga diperbolehkan!”

Tak lama setelah Bung Karno memberikan pernyataan itu, beliau langsung menutup Rapat Kabinet dan KNIP yang sudah dilaksanakan sejak 17 September 1945 itu. Hasilnya seluruh anggota Kabinet Presidensial dan KNIP sepakat ikut bersama Bung Karno hadir di Lapangan Ikada.

Sayang, perjalanan ke Lapangan Ikada itu tak berjalan mulus. Sesampainya di lokasi, aku melihat rakyat Indonesia yang berada di tengah lapangan dikepung rapat oleh tentara Dai Nippon yang bersenjata lengkap. Tak lama kemudian, beberapa orang perwira Dai Nippon berjalan mendekati Bung Karno. Mereka lalu mengepung Bung Karno sambil menodongkan senapan laras panjang. Orang-orang berbadan tegap dan menyandang Pedang samurai di pinggangnya itu meminta agar Bung Karno segera membubarkan massa yang ratusan ribu jumlahnya itu.

Saat itu Bung Karno dengan tegas menolak permintaan Dai Nippon. Dia mengatakan jika langkah para Pemimpin Indonesia dihalangi, maka hal itu justru akan menyulitkan tentara Dai Nippon sendiri. Karena harus menghadapi amuk massa yang banyak jumlahnya.

Tentara Dai Nippon itu tetap berkeras hati meminta Bung Karno tidak menemui rakyat di Lapangan Ikada. Sementara Bung Karno dan seluruh jajarannya sudah bertekad untuk menemui rakyat, meskipun hanya beberapa menit. Menyadari bahwa ancaman Dai Nippon tidak main-main, maka semua menteri sepakat agar ada beberapa menteri yang masuk ke Lapangan Ikada terlebih dahulu. Tujuannya adalah mencari jalan, agar Bung Karno dan Bung Hatta bisa masuk ke Lapangan Ikada tanpa hambatan. Tentu saja tidak ada satu pun menteri yang bersedia membukakan jalan untuk Bung Karno dan Bung Hatta, karena taruhannya adalah nyawa. Tentara Dai Nippon bisa saja membantai siapa saja yang berani coba-coba masuk ke Lapangan Ikada.

Melihat para menteri hanya saling tunjuk, maka dengan langkah tegap aku mendekati Bung Karno. Lalu dengan lantang aku berkata, “Biarlah aku yang membuka jalan untukmu, Bung!”

Mendengar kata-kataku, semua orang yang ada di sekeliling Bung Karno dan Bung Hatta hanya bisa saling pandang. Beberapa bahkan ada yang menggeleng-gelengkan kepala. Tak aku mengerti apa maksudnya.

“Ingat, Ki Hadjar ini sudah tua! Kita tunggu saja sampai ada pemuda-pemuda Indonesia yang bersedia membukakan jalan untuk kita!” kata Abdul Ghofur Pringgodigdo.

Aku hanya tersenyum mendengar perkataan Menteri Sekretaris Negara itu. Lalu dengan tegas aku berkata, “Justru karena aku sudah tua itulah, mati pun aku sudah siap!”

Ki Hadjar Dewantoro merupakan salah seorang di antara Bapak Bangsa dan Pahlawan Nasional. Semasa hidupnya beliau dikenal sebagai aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan untuk kalangan Inlander sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda. Perjalanan hidup beliau—sejak lahir sampai meninggal dunia—benar-benar diwarnai dengan semangat perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsa Indonesia.

Keras tapi tidak kasar. Itulah kepribadian khas Ki Hadjar Dewantoro yang diakui oleh teman-teman seperjuangannya. Kesetiaannya pada sikap dan idealismenya selalu tergambar jelas dalam setiap tindakan dan kiprahnya. Meskipun secara fisik terlihat ringkih, tapi semangat juangnya menggelora. Pidato-pidatonya yang lantang dan penuh ghiroh, menjadi pembangkit persatuan rakyat Indonesia. Ketajamannya dalam memberikan kritik pada pemangku kekuasaan membuat Pemerintah Belanda gerah.

Pada saat itu Ki Hadjar Dewantoro dikenal sebagai seorang jurnalis yang sangat handal. Banyak kalangan yang menilai jika tulisan-tulisan Ki Hadjar Dewantoro sangat komunikatif, tajam dan menggelorakan semangat perjuangan kaum pergerakan (Boemi Poetra), sehingga karya-karyanya tersebut mampu membangkitkan semangat anti penjajah bagi pembacanya—khususnya kaum pergerakan. Ketajamannya dalam mengritik membuat Pemerintah Belanda gerah.

Meskipun berulangkali ditangkap dan dipenjara, tapi semangatnya untuk membela kepentingan jelata tak kunjung padam. Semakin ditekan oleh penjajah, maka laki-laki trah Puro Pakualaman itu akan semakin keras menyatakan permusuhan dengan bangsa koloni itu. Pada saat Indische Partij (IP)—partai politik yang didirikan bersama Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo—dibrandel oleh Pemerintah Belanda pada 1912 dia tidak kehilangan asa. Justru hal itu membuatnya semakin berani mengolok-olok komunitas rambut pirang yang saat itu menjadi pemangku kekuasaan tanah leluhurnya.

Kekesalan-kekesalan putra Pangeran Soerjaningrat pada Belanda itu juga banyak dituangkan melalui tulisan-tulisannya di Majalah De Express, Midden Java, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Saat pemerintah penjajah bermaksud merayakan kemerdekaan negerinya di Indonesia, santri Haji Soleman Abdurrohman itu juga menyampaikan kritikan pedas. Sehingga membuat telinga Gubernur Jenderal Belanda panas.

Dalam artikel yang diberi judul judul Als Ik Eens Nederlander Was siswa gagal STOVIA itu mengungkapkan, betapa tidak malunya orang-orang Belanda merayakan kemerdekaannya dengan memakai uang rakyat yang hidup dinegeri jajahannya. Keseriusannya dalam membela kepentingan-kepentingan jelata juga tercermin saat dengan beraninya Ki Hadjar Dewantoro mengirim surat kepada Ratu Belanda. Meminta agar Pasal 11 Undang-Undang Governemen Hindia Belanda tentang larangan orang-orang Inlander mendirikan partai politik dihapus.

Sebagai akibat dari sikapnya yang berani itu, Pemerintah Belanda menangkap dan mengasingkan Ki Hadjar Dewantoro ke Negeri Belanda enam tahun. Di tanah asing itulah Ki Hadjar Dewantoro secara tekun mendalami masalah pendidikan dan pengajaran. Berkat kegigihannya itu, maka Ki Hadjar Dewantoro berhasil memperoleh Europesche Akte.

Setelah kembali ke tanah air pada 1919, Ki Hadjar Dewantoro mulai tertarik untuk menjadikan pendidikan sebagai alat perjuangan meraih kemerdekaan Indonesia. Berangkat dari impian dan cita-cita luhurnya itu, pada 3 Juli 1922 Ki Hadjar Dewantoro dan teman-teman seperjuangannya mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa.

Sejak saat itu Ki Hadjar Dewantoro dikenal sebagai tokoh Boemi Poetra yang memiliki dedikasi tinggi terhadap nasib bangsa Indonesia dengan membawa spirit kerakyatan. Menjadikan pendidikan sebagai alat perjuangannya. Meskipun beliau adalah seorang bangsawan, tapi beliau tidak mau menjaga jarak dengan rakyat kecil, demi menjalankan misi perjuangannya yang pro rakyat.

Melalui Perguruan Tamansiswa yang digagasnya itulah, Ki Hadjar Dewantoro berjuang untuk menunjukkan keyakinannya. Bahwa tujuan terpenting dari proses pendidikan adalah membantu peserta didik untuk menjadi manusia yang merdeka. Menjadi ikhtiar untuk menyiapkan generasi bangsa Indonesia yang bebas dari cengkeraman penjajah, tidak hidup diperintah, berdiri di atas kaki sendiri, dan cakap mengatur hidupnya dengan tertib. []

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

8 + nine =