TEMBANG PENGANTAR MEMAHAMI TUHAN SECARA ISLAM ALA SUNAN KALIJAGA (1)

Oleh Parni Hadi 

Ini lebih soal rasa daripada rasio. Perasaan lebih berperanan daripada pikiran. Menurut kajian psikologi, pikiran dan perasaan saling mempengaruhi dan atau melengkapi. Karena itu, sebagian orang berujar: “ Saya rasa”. Padahal, maksudnya: “Saya pikir”. Kedua kata secara maknawi sering saling berkelindan.

Berbicara soal agama dan keyakinan serta hal-hal yang bersifat spiritual, menurut saya, menyoal sesuatu beyond logic. Di luar atau melampaui logika atau jangkauan akal. Perasaan, lebih tepatnya, penghayatan memegang peranan penting.

Demikian pula ketikamembaca buku “Islam Mencintai Nusantara: Jalan Dakwah Sunan Kalijaga, Tafsir Suluk Kidung Kawedar”, karya Mas Bambang Wiwoho, yang biasa saya panggil Mas Wie, ini.

Suluk berasal dari kata Arab yang berarti cara, jalan dan atau laku untuk mendekatkan diri kepada Alah, Tuhan yang Maha Kuasa. Dalam agama Islam, Suluk adalah bagian Tasawuf, yang berarti ajaran tentang tata laku untuk memahami dan mendekatkan diri menuju kepada Allah. Pelaku Tasawuf disebut sufi.

Suluk yang saya kenal sejak kecil adalah nyanyian oleh dalang sebelum membuka dan atau memulai babak (adegan) baru dalam pertunjukan wayang. Cara menyanyi sang dalang berbeda dengan para penyanyi lainnya, yakni pesinden (penyanyi wanita) dan wirasawra (penyanyi pria) sekalipun dalam pertunjukan yang sama.

Suluk terdengar lain, menggiring ke sebuah suasana batin pendengarnya sesuai suasana yang akan ditampilkan dalam pertunjukan: gembira, sedih, mengibur dan memberi semangat. Suluk berfungsi memimpin, membuka jalan. Sama dengan dalang yang juga berfungsi sebagai pemimpin dan penangungjawabseluruh pertunjukan dan para pendukung pertunjukan.Dalam kehidupan sehari-hari dikenal istilahdalang atau mastermind, otak, sebuah peristiwa, yang sering tidak kelihatan atau tidak mau muncul alias di belakang layar.

Dalam pertunjukan wayang kulit, dalang duduk di depan layar, membelakangi penonton, yang berada di depan, di halaman luar. Sang dalang hanya tampakblangkon (tutup kepala)-nya punggung dan keris yang diselipkan dalam sabuknya. Ia menghadap layar atau kelir (tabir) dan penonton yang duduk di dalam rumah, biasanya sang tuan rumah, yang menanggap, sesepuh, tokoh yang dihormati dan kerabat dekatnya.

Sang dalang tidak dapat melihat dengan jelas wajah penonton di depannnya karena terhalang layar atau kelir (tabir atau hijab). Demikian pula para penonton. Namun tentu dalang dan sang penanggap tempat duduknyalebih dekat dan lebih mudah berkomunikasi dibanding penonton umum.

Dalam dunia spiritual, Tuhan sering dilukisan sebagai dalang, sedangkan manusia dan makhluk lain ciptannya sebagai wayang.

Kidung sama dengan tembang, nyanyian atau lagu. Tapi, karena didahului dengan kata suluk, ini lagu tidak sembarang lagu. Ini lagu tentang tata laku mencapai makrifat, memahami hal-ihwal yang gaib-gaib, misterius dan bersifat spiritual.Kidung ini diyakini mengandung tuah atau daya yang membawa keselamatan bagi yang menyanyikan, mendengarkan dan bahkan hanya menyimpannya. Kidung ini mengandung kekuatan magis.Kidung ini diyakini oleh penggubah dan pengikutnya sebagai mantera tolak bala.

Kawedar berasa dari kata bahasa Jawa. Artinya: tergelar atau digelar, terbuka atau dibuka agar mudah difahami. Jadi, Suluk Kidung Kawedar bisa dimaknai sebagai penjelasan tentang cara atau laku mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, melalui kidung tembang (dan atau mengidung/ menembang).

Manusia Terpilih

Orang yang memberi penjelasan atau juru penerang dalam bahasa Jawa disebut pamedhar. Karena itu, dalam kosa kata bahasa Jawa adapamedhar sabda atau penceramah atau orang yang menyampaikan pidato. Biasanya, yang berpidato itu orang yang dianggap memiliki pengetahuan dan kemampuan lebih daripada rata-rata hadirin atau pendengarnya.

Umumnya, tugas memberikan pidato diserahkan kepada orang yang usianya sudah tua, sesepuh atau pinisepuh, seorang yang dianggap memiliki banyak pengetahuan karena pengalaman hidupnya yang lama, dan atau seorang ahli di bidangnya. Tegasnya, orang yang mumpuni.

Nah, yang medhar (menjelaskan) kidung ini adalah Kanjeng Sunan Kalijaga, salah seorang dari “Wali Songo”, penyebar agama Islam di Pulau Jawa pada abad ke-15 sampai 16 Masehi. Seorang Wali, biasa disebut Waliyullah atau Awliya(jamak) adalah wakil Allah. Seorang wali adalah manusia terpilih (janma pinilih). Yang memilih Allah sendiri. Manusia pilihan ini umumnya pernah mengalami  beban hidup yang tidak tertahankan oleh orang biasa. Ia tahan ujian fisik, otak dan mental lewat berbagai macam godaan.

Hal itu dilakoni oleh Sunan Kalijaga (diduga lahir tahun 1430M) yang bernama kecilRaden Mas Said, putra Adipati Tuban, Wilwatika. Berdarah biru, tapi pernah menjalani hidup sebagaikecu (begal, berandal, maling) dengan nama Begal Lokajaya, sebelum berjumpa dengan Sunan Bonang, waliyullah, yang kemudian menjadi gurunya.

Menurut sejumlah legenda dan atau mitos,Lokajaya disuruh sang guru menunggui tongkatnya di pinggir kali selama beberapa waktu (tahun), hingga tongkat itu tumbuh menjadi dhapuran pring (serumpun pohon bambu). Ia setia menunggui tongkat itu dansekaligus menjaga kali, hingga ia mendapat julukan Sunan Kalijaga.

Apa yang dituangkan dalam kidung yang tediri dari 46 pupuh (bait) itu adalah pengalaman batin (spiritual) ketika beliau menunggu tongkat dan kali itu. Di situ Lokajaya mendapat pencerahan batin, spiritual enlightenment, penglihatan batin. Ia dikaruniai kemampuan melihat sesuatu yang gaib-gaib, tidak kasat mata, berkat kasih sayang Allah, yang telah memilihnya. Ia mencapai makrifatullah, memahami rahasia Allah, Sang Maha Gaib.

Ia sudah merasa mengalamiasarira tunggal (beberapa dzat Tuhan menyatu dalam dirinya) atau Manunggaling Kawula-Gusti, bersatunya hamba dan Khalik (Sang Pencipta) dalam  rasa, bukan seperti menyatunya benda-benda yang kasat mata.

Bagi manusia terpilih, semuanya telah manunggal menjadi satu seperti hakikat Allah Yang Tunggal adanya, sekalipun disebut dengan berbagai nama oleh manusia sesuai tempat, budaya dan keyakinannya. Bagi Sunan Kalijaga, Suluk, Kidung, Wedaran (ajaran), dan dirinya telah menjadi satu terliput dalam dzat Allah. “The song, the content, the composer and the singer are one in God” (Lagu, pesan, komponis dan penyanyinya adalah satu dalam liputan dzat Tuhan). Ini tercermin dalam ungkapan salah satu bait “kidung angidung” (tembang yang menembang). “A singing song”(lagu yang menyanyikan dirinya sendiri).

Jadi Sunan Kalijaga adalahpenggubah dan pelantun, sekaligus isi lantunan itu sendiri berkat kuasa Allah yang terlibat di dalamnya. Sunan Kalijaga berfungsi sebagai  penafsir dan sekaligus juru penerang apa yang dialaminya sendiri berkat kehendak Allah. Beliau manusia terpilih.

Demikian pula, Mas Wie, penulis buku Islam Mencintai Nusantara: Jalan Dakwah Sunan Kalijaga, Tafsir Suluk Kidung Kawedar. Ia menafsirkan apa yang telah ditafsirkan oleh Jeng Sunan Kali atas apa yang difahaminya tentang Allah. Mas Wie telah terpilih oleh Allah sebagai penafsir ajaran Sunan Kalijaga.

Mas Wie, sama dengan Sunan Kali, tapi dengan derajat (maqam) mungkin berbeda, adalah salah satu dari penafsir Allah, yang tak pernah bakal bisa ditafsirkan secara sempurna oleh manusia karena Tuhan  bersifat “tan kena kinoyo ngopo” (laisa kamitslihi syaiun) alias Allah tidak sama dengan sesuatupun atau tak terlukiskan dengan apa pun jua. Saya yakin, Mas Wie juga pernah mendapat pengalaman batin luar biasa, yang tak sembarang orang memperolehnya. Kalau ditanya, Mas Wie tentu tidak akan mau menceritakannya karena itu pantangan, kecuali sesama murid tunggal guru dan tunggal ilmu (pemahaman atas suatu ajaran)

Sebetulnya, karya Mas Wie sudah lengkap. Setiap pupuh (bait) yang tertulis dalam bahasa Jawa diikuti terjemahan artinya dalam bahasa Indonesia. Rujukan atau referensi pustakanya juga berjibun. Maklum ia seorang wartawan senior, yang kini berusia 68 tahun. Rujukan utama adalah Al Quran dan Hadits, buku-buku karya tokoh sufi tingkat dunia, termasukAl-Ghazali, dan kitab-kitab karya tokoh IslamIndonesia terkemuka Prof. Dr. Hamka, mistikus Islam Jawa, terutama Raden Ngabehi Ronggowarsito.

Bertebaran kutipan dari buku piwulang (ajaran) faslafah Jawa seperti Wedhatama, Wulangreh dan Centhini. Juga beberapa ajaran yang disebut Kejawen, Islam Jawa atau Islam “rasa” Jawa perguruan ilmu kebathinan dan spiritual merujuk atau bersumber dari Suluk Kidung Kawedar.

Mas Wie mengutip langsung dari buku-buku dan atau yang sudah tersiar di media on-line.Jadi, sebenarnya buku karyanya ini tidak perlu kata pengantar lagi. Ibarat nguyahi segara (menggarami lautan). Tapi, dengan rendah hati ia meminta saya tetap membuat pengantar. Alasannya, tidak ada sesuatu yang dapat dibilang sudah legkap kalau berbicara tentang Tuhan. Ibarat daun seluruh jagad sebagai kertas dan air seluruh samudera sebagai tinta tidak akan cukup untuk mengulas tentang Allah, yang maha segalanya.

Pendekatan Budaya

Sunan Kalijaga melakukan penyebaran Islam dengan cara yangup todate, paling mutakhir waktu itu nut jaman kelakone (menurut semangat jaman) seperti kata Ki Dalang Narto Sabdo (alm) atau Zeitgeist, kata orang Jerman.

Njeng Sunan Kali (jaga) memperkenalkan Islam selapis demi selapis melalui pendekatan budaya dan kearifan lokal (local wisdoms) Jawa, yang waktu itu masih didominasi oleh agama Syiwa-Budha. Beliau tidak sekaligus memperkenalkan Islam secara frontal, melainkan dengan memadukan istilah-istilah Islam dengan istilah-istilah dalam agama yang masih berlaku. Hasilnya, Islam diadopsi orang Jawa secara damai, tanpa kekerasan dan perang yang memakan korban jiwa dan harta benda serta trauma.

Banyak teori yang menyatakan mudahnya orang Jawa masuk agama Islam. Antara lain, karena Islam tidak mengenal kasta, tidak seperti agama yang mereka anut sebelumnya. Beberapa bentuk seni budaya diadopsi dan disinergikan dengan seni budaya yang berasal dan bernuansa Arab, tempat asal Islam.

Beliau  menciptakan seni-budaya baru, yang menggabungkan keduanya. Gamelan, tembang dan wayang dipertahankan dan bahkan diperkaya dengan perangkat dan lakon-lakon baru. Misalnya, lakon Wahyu Jamus Kalimasada untuk memperkenalkan Kalimat Syahadat.

Ia mempergunakan falsafah empan papan atau local setting, di mana bumi dipijak, di situ adat dijunjung. Sunan Drajat, juga seorang wali, yang berdakwah di Lamongan, pantura Jawa Timur, menyampaikan nasihat agar orang suka tolong menolong dengan idiom-idiom lokal, bukan Arab. Berikut adalah nasihatnya: “Menehana payung marang wong kang kodanan, menehana teken marang wong kang kalunyon, menehana pangan marang wong kang kaluwen lan menehana sandangmarang wong kang kawudan”.

Nasihat itu mengandung ajakan:  Berilah payung kepada orang yang kehujanan, berilah tongkat kepada orang yang berjalan di tempat licin, berilah makan kepada orang yang kelaparan dan berilah pakaian kepada orang yang telanjang. Yang banyak hujan dan tanahnya licin kalau kena air adalah Pulau Jawa, termasuk Lamongan dan sekitranya,Arab Saudi jarang mendapat hujan dan wilayahnya berupa padang pasir, jadi orang jarang mengalami berjalan di tanah yang licin. Sunan Drajat tidak langsung menyebut ayat Al-Quran yang mewajibkan muslim untuk membayar zakat, infaq dan sedekah serta wakaf.

Tawarkan Keselamatan

Dengan piawinya, Njeng Sunan Kali meramu kidungnya dengan pembukaan yang pas untuk semua orang di setiap jaman, lebih-lebih waktu itu, yakni keselamatan. Islam sendiri bermakna selamat dan pasrah kepada kehendak Allah.

Kidung itu dibuka dengan kata-kata yang bermakna mistis, magis untuk menolak bala: penyakit, bencana dan gangguan makhluk halus. Guna-guna, tenung, teluh, santet, niat jahat, pencuri, binatang buas, senjata tajam, kayu dan tanah wingit dan hama penyakit semuanya menyingkir, tidak mempan. Perawan tua dapat segera dapat jodoh dan orang gila dapat sembuh.Semua musuh menjadi sayang, jatuh cinta kepada membaca kidung ini.

Maka tembang itu juga disebut sarira ayu (badan sehat segar, bugar, cantik). Pengidung dikelilingi bidadari, dijaga malaikat, semua rasul. Semua “manunggal”, menyatu dalam dirinya. Sejumlah nama nabi disebut: Adam sebagai hati, Syits sebagai otak, Musa sebagai ucapan, Isa sebagai nafas, Yakub sebagai telinga, Yusuf sebagai rupa, Daud sebagaisuara, Sulaiman sebagai kesaktian, Ibrahim sebagai nyawa, Idris sebagai rambut, Nuh di jantung, Yunusdi otot dan Muhammad (saw) sebagai mata/penglihatan.

Disebut juga nama para sahabat dan keluarga Muhammad telah menyatu dalam dirinya. Patimah (Fatimah) putri Nabi Muhammad sebagai sumsum, Baginda Ngali (Ali) kulit, Abubakar darah, Ngumar (Umar) daging dan Ngusman (Usman) sebagai tulangnya.

Penyebutan nama-nama dalam bait 3 sampai 5 itu, masih perlu tafsir atau penjelasan lebih luas, walau itu mungkin pemahaman atas pengalaman gaib pribadi, yang tidak bisa difahami orang lain, lebih-lebih  bagi banyak orang sekarang.Setiap “salik” (pelaku suluk) mempunyai pengalaman masing-masing yang unik. Mungkin, nama-nama mulia itu disebut karena semangat, sifat dan karomah mereka agar masuk, merasuk dalam diri sang pengidung sebagai pelindung atau tolak bala, sesuai sikon lokal dan keperluan masyarakat saat itu, yakni keselamatan. Penyebutan nama itu mungkin juga dikaitkan dengan ungkapan; “Allah melihat, mendengar dan berucap dengan mata, telinga dan mulut saya”.Inti maknanya, merasuk Islam berarti terjaminnya keselamatan lahir-batin.

Penyebutan nama-nama itu jelas untukmempermudah cara memperkenalkan malaikat, para nabi, Muhammad(saw), keluarga dan empat sahabatnyadalam penyebaran Islam kepada orang Jawa yang semula beragama Syiwa-Budha.

Kidung itu diyakini punya banyak kesaktian: mudah cari rezeki, jodoh, mudah mencari pekerjaan (mengabdi), mau terkena denda bebas dan yang punya hutang atau tidak jadi ditagih. Musuh menyingkir, semuannya takluk. Pokoknya, banyak deh, manfaatnya. Kalau tidak percaya, ya silahkan membaca sendiri!

Sunan Kali melalui kidung juga memperkenalkan beberapa surat dan ayat Al-Quran, yang dianggap ampuh. Di antaranya surat Al-Ikhlas, yang disebutnya Surat Kulhu, karena dibuka dengan Qulhu, surat An’Aam, yang disebut suratul Ngam Ngam. Maklum, orang Jawa dulu sulit mengucap bunyi huruf Arab ‘ain. Sehingga, ada orang Jawa yang namanya Sangidu (dari Sayyidu), Sangit (dari Sayyid),  Fatongah (dari Fathonah). Ayat Kursi yang dikenal luasampuh untuk mengusir segala macam godaan juga disebut. Kidung itu diyakini begitu ampuh, hingga jika dibaca di laut, air laut pun mengering (segara asat).Mungkin berlebihan. Tapi, itulah yang tertulis dan dipercaya banyak orang untuk mencapai keselamatan hidup.

Tapi keampuhan atau kesaktian itu akan mewujud jika yang menyanyikan kidung itu menjalani laku tertentu, seperti berpuasa “mutih” (makan nasi putih tanpa garam), berpuasa selama 40 hari dan kidung itu disenandungkan pada malam hari tatkala sunyi-sepi. Artinya, pelantun harus menjalani “laku”, seperti berpuasa dengan mengurangi tidur(tentang ini bias dilihat di buku tulisan Mas Wie dengan pengantar antara lain darisaya, yaitu Bertasawuf di ZamanEdan, bab Bila Mati Dengan Sesuap Haram, halaman 243).

Sunan Kali juga mengenalkan Allah, sebutan Tuhan dalam bahasa Arab, bahasa yang dipakai Al Quran. Orang Jawa sebelummya sudah mempunyai beberapa sebutan untuk Tuhan, seperti Pangeran, Gusti Pangeran, Hyang Widhi Wasa, Hyang Kang Murbeng Dumadi, Gusti Kang Maha Kuwasa, Hyang Tunggal (nama dewa dalam pewayangan), Hyang Suksma Kawekas dan setelah Islam masuk, yang sering digunakan adalah Gusti Allah. Beberapa sebutan itu dipakai Sunan Kali. Maksud dari berbagai sebutan nama Tuhan itu adalah sama, yakni Yang Satu, Yang Tunggal, Yang Maha Esa itu seperti disebut  dalam Suratul Kulhu.

Bersambung…

 

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

9 + 18 =