Ki Hajar Dewantara Sang Visioner

Oleh HABIBULLAH*

DALAM suasana perayaan 72 tahun kemerdekaan Indonesia, kita kembali perlu mengingat perjuangan Ki Hadjar Dewantara yang sangat visioner ketika mendirikan National Onderwijs Institut Tamansiswa. Bagi dia, perjuangan kemerdekaan tidak hanya terkait dengan minggatnya prajurit kolonial dari Indonesia.

Tapi, yang lebih penting adalah kesiapan jiwa rakyat Indonesia untuk merdeka dan meng-Indonesia. Hal demikian akan terwujud melalui pendidikan. Sebab, dijajah dalam waktu yang lama telah memapankan pribadi minder, inferior, hingga tahap aboriginal.

Ki Hadjar memandang inferiorisasi dan aboriginisasi tersebut dibentuk lewat sistem sosial yang memosisikan rakyat Indonesia sebagai manusia kelas ketiga, sistem pendidikan diskriminatif, hingga pencabutan hak mereka sebagai manusia merdeka (halaman 367–368). Mental Merdeka Kemerdekaan Indonesia memang hasil perjuangan berdarah-darah. Seandainya Jepang tidak dilumpuhkan sekutu, barangkali kemerdekaan Indonesia secara de jure tidak akan terjadi pada 1945.

Secara de facto, proklamasi kemerdekaan tidak memerdekakan Indonesia karena Jepang masih berkuasa. Proklamasi kemerdekaan hanya simbol pembuktian bahwa rakyat Indonesia siap untuk merdeka.

Kesiapan untuk merdeka terlihat pada tanggal 19 September 1945, sebulan setelah proklamasi. Tiga ratus ribu rakyat Indonesia membanjiri Lapangan Ikada guna menyaksikan rapat umum bersama Bung Karno sekaligus memberikan dukungan kepada proklamasi kemerdekaan. Saat itu Bung Karno ragu untuk hadir di tempat tersebut karena Dai Nippon melarang keras rakyat Indonesia berkumpul lebih dari lima orang.

Lapangan Ikada sudah dikepung pasukan Jepang bersenjata lengkap. Bung Karno dilarang masuk menemui rakyat. Ketegangan terjadi. Muncul rencana agar ada orang yang menyusup ke lapangan dan mencari jalan agar Bung Karno bisa masuk tanpa diketahui.

Namun, siapa pun yang masuk lapangan harus berhadapan dengan maut jika ketahuan Jepang. ”Biarlah aku yang membuka jalan untukmu, Bung,” kata kakek tua bertubuh ringkih dengan lantang. ”Ingat, Ki Hadjar sudah tua!” kata Abdul Ghofur Pringgodigdo, mengingatkan. ”Justru karena aku tua itulah, mati aku pun siap,” jawab Ki Hadjar dengan tegas. Gaya Perjuangan Kesiapan ratusan ribu rakyat Indonesia untuk mendukung proklamasi itu muncul karena adanya kesadaran akan arti penting kemerdekaan. Kesadaran tersebut, salah satunya, dipengaruhi pendidikan yang disemaikan Ki Hadjar 26 tahun sebelumnya. Pendidikan merupakan gaya perjuangan Ki Hadjar yang paling mutakhir untuk melawan penjajah.

Sebelumnya, gaya yang dia gunakan adalah partai dan tulisan. Bersama Douwes Dekker dan Tjipto Mangoen- koesoemo, dia mendirikan partai politik Indische Partij (IP) sebagai wadah perjuangan. Karena gerakannya yang cukup radikal merongrong kekuasaan Belanda, IP akhirnya diberedel pada 1912.

Kehilangan partai tidak menghentikan perjuangan Ki Hadjar. Dengan tajamnya tulisan yang dikuasai, dia justru makin deras mengolok-olok komunitas rambut pirang. Dia tuangkan kekesalannya lewat majalah De Express, Midden Java, dan media lain.

Ki Hadjar akhirnya dibuang ke Belanda selama enam tahun. Justru di negeri penjajah dia menemukan gaya perjuangan mutakhirnya tersebut.

Sekembali ke tanah air pada 1919, dia menggunakan wadah pendidikan sebagai media perjuangan kemerdekaan hingga secara formal berdiri Tamansiswa pada 1922 –yang menjadi inspirasi pendidikan Indonesia hingga sekarang.

Buku memoar yang ditulis dengan genre novel ini berasal dari penelitian mendalam. Itu bisa dilihat dari keberhasilan si penulis memadukan dichtung dan wahrheit. Serta secara cermat membedakan antara fakta, harapan, persepsi, tujuan penulisan, dan hidden aspiration penulis sendiri. (*)

* Penulis adalah Mahasiswa pascasarjana UIN Malang; guru di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep, Madura

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

six + eighteen =