Indonesia Butuh Lebih Banyak Hakim Berintegritas

Judul Sogok Aku Kau Kutangkap

Penulis : Haidar Musyafa

Penerbit : Imania

Cetakan : Agustus 2017

Tebal : 434 halaman

ISBN : 978–602- 7926-36-3

Ujung tombak keadilan adalah pengadilan. Yang memegang kuasa di pengadilan untuk memutuskan suatu perkara adalah hakim. Dengan ketokan palu, dia memastikan keputusannya selaras dengan undang-undang atau dimotivasi berbagai desakan ekternal seperti rayuan suap, ancaman santet, dan pembunuhan.

Buku ini mengetengahkan biografi Artidjo Alkostar yang sekarang menjabat Hakim Agung di Mahkamah Agung (MA). Dalam posisinya ini, dia berusaha memperbaiki tiga komponen hukum yang dianggapnya lemah, yakni subtansi, struktur, dan budaya hukum. “Benarkah Indonesia ini negara hukum? Jika ya, mengapa budayanya tidak pernah mendukung penegakan hukum?” katanya (hlm 428).

Atas vonisnya, banyak pejabat masuk bui. Mahfud MD memuji keberaniannya sebagaimana tertera di sampul buku. “Jangan pernah berpikir, siapa pun bisa mempengaruhi Artidjo untuk melenceng dari penegakan hukum dan keadilan. Artidjo tidak takut ancaman fisik, tak risau gertakan santet. Dia tak mempan uang dan tak peduli persahabatan jika menodai integritasnya sebagai penegak hukum.”

Pernah suatu hari, sahabat lamanya yang kini menjadi pengacara hebat mendatangi yang sering mengawal kasus para pejabat. Dia hendak minta tolong memudahkan kasus kliennya atas nama persahabatan dan mengiming-imingi mobil baru serta sejumlah uang. “Sebagai orang yang mengerti hukum, aku rasa kamu tidak pantas berkata seperti itu di hadapanku,” kata Artidjo dengan geram (hlm 10).

Integritas Artidjo dibangun sejak muda. Tahun 1980-an menjadi pengacara di Lembaga Bantuan Hukum (LBH), di Yogyakarta, di bawah kepemimpinan Adnan Buyung Nasution. Dia merasa hidupnya memiliki arti ketika bisa melindungi wong cilik, segmen masyarakat tersisih serta kelompok teraniaya. Begitu besar obsesi melayani hukum, dia berani meninggalkan profesi dosen yang secara finansial lebih menjanjikan.

Seorang profesor yang juga seniornya menyayangkan sikap tersebut. “Karena dengan bergiat di LBH, aku bisa melihat penderitaan rakyat kecil. Dengan begitu, mata hatiku akan menjadi peka sehingga semakin berani menyuarakan kebenaran dan keadilan,” katanya kepada profesor (hlm 304).

Dia mengadvokasi para petani tebu di Sumenep, mengusut kecurangan pemilu di Pemekasan, dan memperjuangkan korban insiden Santa Cruz, Dili. Ancaman santet, dibunuh, dan sebagainya kerap kali diterima. Namun, dia bergeming dengan perjuangannya. Dia juga menentang aksi brutal oknum aparat keamanan yang menghabisi para pelaku kejahatan dalam Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK).

Dia sadar bahwa para kecu, gali, dan preman sering kali membuat onar. Namun, mereka juga manusia yang setiap perilakunya mesti diadili, bukan langsung ditangkap, disiksa, dicekik, atau ditembak lantas mayatnya digeletakkan begitu saja di pinggir jalan. Baginya, ini tindakan barbar. Perjuangannya membela hak hukum para preman membuat aparat gerah. Dia pun diancam bunuh, tapi tidak takut (hlm 360).

Artidjo senantiasa berkomunikasi dengan orang tua, istri, dan kiai mengonsultasikan seluruh persoalan. Merekalah backing power perjuangannya. Sebab sebagai manusia, dia juga kadang merasa lemah, takut, bingung, dan ragu. Perlu orang lain untuk menguatkan dan menenangkan. Dari perjungannya selama ini, Artidjo mendapat pelajaran berharga, kehidupan akan menjadi baik jika takut Allah dan dalam hidup bersama menjaga tegaknya hukum dan keadilan.

Buku ini mewartakan detail perjuangan Artidjo, ragam ancaman, dan rayuan harta. Perjuangannya akan memberikan rasa optimistis masa depan keadilan hukum. Dia teladan bagi setiap pribadi yang bergerak di bidang hukum.

Diresensi Yudi Prayitno, tinggal di Malang

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

8 − 4 =