Kupilih Jalan Gerilya

Novel inilah yang dipilih Dewan Kurator (Seno Gumbira Ajidarma, Iswadi Pratama, Kadek Sonia Piscayanti) dari dua novel yang dikirim – satunya lagi Jugun ianfu – yang meloloskan saya untuk mengikuti Ubud Writers & Readers Festival 2016, Oktober yang akan datang di Ubud, Bali. Alhamdulillah bisa bertemu dan bertukar pikiran dengan sastrawan mancanegara.

Sekilas tentang novel Kupilih Jalan Gerilya :

“Yang sakit itu Sudirman, Panglima Besar tidak pernah sakit,” ujar Panglima Sudirman ketika Bung Karno menolak ikut gerilya. Tubuh ringkih itu memilih jalan gerilya, membakar semangat prajurit, membuktikan pada dunia – negara Indonesia tetap ada sekalipun para pemimpin politik telah ditawan Belanda. Air mata Alfiah menderas setiap membayangkan suaminya yang sakit-sakitan mendaki bukit, menembus belantara, menghadang tanah tandus berbatu, menghindari serbuan Belanda tanpa henti. Tapi di balik wajah pucat itu sinar matanya tak pernah berubah – tajam berkharisma, membuat Simon Spoor frustasi. Operasi pengejaran Sudirman selalu gagal. Saat Sudirman kembali ke Yogyakarta, rakyat menyemut di pinggir jalan menyambut. Air mata jadi saksi bagaimana lelaki kurus pengidap TBC akut itu telah gemilang mempertahankan martabat negeri. Ia berhasil mengusir berbagai aral rintang, tapi tak berhasil mengusir penyakit TBC yang bersarang di tubuhnya. Setelah rongrongan Belanda berakhir, ia pun menghadap Illahi, menghembuskan napas terakhir dengan tenang setelah memeriksa rapor putra-putrinya. Langit Magelang menjadi saksi.

“Aku bangga sekali, Bu, sepanjang hidupku Gusti Allah senantiasa memberikan jalan yang sederhana, dekat dengan alam, anak-anak dan rakyat yang hidup dan pikirannya sederhana. Rasanya tugasku sudah selesai. Kalaupun pada akhirnya dipundut Sing Kagungan, aku rela,” ujar Sudirman sebelum menutup mata.

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4 + 8 =