Gus Dur Itu Cermin Kehidupan

الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على سيدنا محمد رسول الله وعلى اله وصحبه ومن تبع سنته وجماعته من يومنا هذا الى يوم النهضة

Allah Swt itu Dzat Yang menciptakan (al-Khaliq) manusia dengan bentuk yang sempurna. Dari sekian banyak makhluk Tuhan, hanya manusia yang diberi wujud fisik yang sempurna. Meski ada beberapa orang yang secara fisik berbeda sesungguhnya menurut Tuhan ia sempurna. Tak ada seorang pun yang mempunyai fisik tak sempurna. Allah Swt menegaskan kesempurnaan manusia dengan nash ahsani taqwim. Manusia adalah khalq yang menjadi otoritas Dzat Sang Pencipta (al-Khaliq).

Kesempurnaan fisik manusia harus beriringan dengan kesempurnaan moralitasnya. Setiap orang mempunyai kewajiban menyempurnakan etikanya. Upaya memperbaiki moralitas diri merupakan ibadah sebagaimana misi Rasulullah saw diutus ke dunia untuk menyempurnakan moralitas manusia. Keluhuran budi manusia itu tuntutan hidup sebagai wujud karakteristik ketuhanan (al-khuluq). Moralitas itu sesuatu yang dilakukan, bukan diucapkan. Sebuah tindakan, bukan tulisan. Pengamalan, bukan hafalan. Keteladanan, bukan gagasan. Kata hati, bukan diskusi.

Fisik manusia (khalq) itu ranah Sang Pencipta (al-Khaliq). Hanya al-Khaliq yang menciptakan manusia dengan fisik yang sempurna. Maka Tak boleh ada seorang pun yang mencela, menghina, merendahkan, mencibir atau bentuk-bentuk hinaan lainnya terhadap fisik seseorang. Tak ada ruang kritik atas wujud manusia, tanpa kecuali. Menghina fisik seseorang itu artinya menghina Dzat Sang Pencipta (al-Khaliq).

Berbeda dengan ranah khalq (fisik manusia) yang anti kritik, adalah al-khuluq (keluhuran budi). Tuntutan untuk berbudi luhur berarti larangan untuk melakukan perbuatan yang tercela. Jika seseorang dituntut untuk berbuat baik namun faktanya ia bermoral buruk maka berakibat pada runtuhnya karakteristik ketuhanan dalam dirinya. Ia pun jadi hina dan dihinakan. Ia jadi rendah dan direndahkan. Pada ranah al-khuluq ini terjadi seseorang memuliakan orang lain karena keluhuran budinya. Sebaliknya pun terjadi, seseorang merendahkan orang lain karena perangainya yang buruk.

Moralitas itu kunci membangun peradaban manusia. Setiap kebaikan menjadi investasi di masa depan. Gus Dur itu contoh manusia yang telah melakukan investasi kebaikan di sepanjang hidupnya. Buah dari investasi kebaikan Gus Dur tentu peradaban Indonesia saat ini dan di masa depan. Sejak sepulang dari studi di luar negeri: beraktifitas sebagai guru di Pondok Pesantren Tebu Ireng hingga menjadi Presiden dan wafat pada tanggal 30 Desember 2009 di Jakarta, Gus Dur tak henti-henti menanamkan kebaikan untuk bangsa Indonesia.

Aktivitas positif Gus Dur tak sebatas melakukan rutinitas kebaikan namun bereksperimen positif (tajribah thayyibah) untuk kehidupan. Seseorang yang masih dalam tahap melakukan “rutinitas kebajikan” tentu bisa kesulitan memahami Gus Dur yang sudah dalam tahap tajribah thayyibah. Ibn Miskawih menulis kitab Tajarrubul Umam, dan Gus Dur termasuk satu diantara pelaku eksperimen positif untuk kemanusiaan itu.

Gus Dur menjadi sosok multidimensi. Karena itu kebaikan Gus Dur mampu dirasakan oleh orang-orang dari berbagai ragam profesi dan bidang kehidupan. Investasi kebaikannya telah menjadi modal bagi orang-orang untuk membangun peradaban sesuai dengan bidang dan keahliannya masing-masing. Saya pun merasakan investasi kebaikan Gus Dur di bidang yang saya tekuni selama ini. Teman-teman saya yang punya keahlian dan konsentrasi yang berbeda-beda pun merasakan hal yang sama.

Tak berlebihan kiranya jika saya mengatakan bahwa seseorang yang memahami Gus Dur maka akan terkoreksi dirinya. Seorang budayawan yang menyelami Gus Dur akan merasakan kontribusinya untuk kebudayaan Indonesia masih jauh dari harapan masyarakat. Seorang kiai yang mengakrabi Gus Dur maka akan merasa peran sosial keagamaannya belum berarti apa-apa. Seorang politisi yang mengetahui Gus Dur akan menyadari dirinya masih jauh dari sosok negarawan. Seorang pelaku sufi yang memahami Gus Dur akan merasakan bahwa dirinya belum terbebas dari kepentingan dunia. Berhadapan dengan Gus Dur, suka atau tidak suka, diri kita akan terkoreksi.

Khulq (moralitas) Gus Dur layak diteladani karena setiap tindakannya meniru Rasulullah saw dan setiap perkataannya merujuk kepada ajaran Islam. Berbahagialah Gus Dur yang sepanjang hidupnya telah mampu menjaga kesempurnaan dan kemuliaan fisik (khalq) dan moralitas (khulq) saat di dunia. Buku yang disusun Sulthan Fatoni dan Wijdan Fr ini bagian dari upaya “menghadirkan” orisinalitas Gus Dur. Membaca buku ini dapat mengantarkan kita untuk mengoreksi diri di depan “cermin” Gus Dur. Saya ikut senang atas terbitnya buku ini dan semoga bermanfaat.

KH Said Aqil Siroj

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 × 4 =