Agar Generasi Zaman Now Melek Tokoh Bangsa

Haidar Musyafa, Penulis Muda Spesialis Novel Biografi

Banyak alasan seseorang untuk memutuskan menjadi penulis. Misalnya, ingin terkenal karena karyanya dibaca banyak orang. Namun, Haidar Musyafa berbeda. Dia menjadi penulis karena ingin menginspirasi anak muda agar melek kepada tokoh bangsa.
’’SAMPAI kapan pun, orang tuamu tidak akan pernah memintamu menjadi orang Belanda, Ngger! Rama hanya meminta kamu untuk menyelami kehidupan orang-orang Eropa. Sebab, di masamu nanti, kamu akan banyak berurusan dengan mereka.’’
’’Sampai kapan pun, saya tetap orang Jawa, Rama. Belajar di sekolah-sekolah Belanda tidak akan pernah membuat saya kehilangan jati diri sebagai orang Jawa.’’
’’Hari ini, kamu benar-benar membuat orang tuamu bangga, Ngger! Rama yakin kelak kamu akan menjadi suluh penerang bagi kaum sebangsamu. Menjadi pelita dan petunjuk jalan bagi rakyat Nusantara.’’
Itulah percakapan antara Sultan Hamengku Bowono VIII dan putranya, Gusti Raden Mas Dorodjatun atau Sultan Hamengku Bowuno IX. Percakapan tersebut direkam jelas dalam novel berjudul Api Republik karya Haidar Musyafa. Di dalam novel biografi Sultan Hamengku Buwono IX tersebut, banyak pesan sarat makna yang bermanfaat untuk masyarakat tanah air pada masa lampau dan saat ini.
Dalam beberapa dekade terakhir, minat masyarakat Indonesia untuk belajar ke luar negeri semakin menggeliat. Beberapa perguruan tinggi di Eropa dan Amerika dijajal untuk mengembangkan kemampuan pikir dan sumber daya. Pesan Sultan Hamengku Buwono VIII dan respons anaknya, Sultan Hamengku Buwono IX, bisa dijadikan pelajaran penting. Sejauh apa pun kaki melangkah dan setinggi apa pun pencapaian diraih, bumi dan tanah air tetap menjadi pijakan terhebat untuk anak ibu pertiwi. Jangan sampai lupa dan khianat.
Spirit itu yang ingin disebarluaskan Haidar Musyafa melalui karya-karyanya. Dia ingin keluruhan budi, keelokan perangai, dan kecintaan tanah air para pendahulu tertanam kuat di hati masyarakat Indonesia hari ini. Khususnya anak-anak muda alias generasi zaman now. Bagi Haidar, generasi muda harus dituntun dengan norma dan cara pandang orang-orang terbaik pada masa lalu.
Masalahnya, saat ini, banyak anak muda yang tidak mengenal sejarah bangsa mereka. Ruang sejarah para pahlawan dan sepak terjang manusia-manusia pilihan tidak cukup luas terbuka untuk generasi masa kini. ’’Itulah yang membuat saya tertarik menggarap novel biografi tokoh,’’ kata Haidar Musyafa saat ditemui di kediamannya, Sleman, Jogjakarta, beberapa hari lalu.
Hampir setiap hari, dia menyaksikan beberapa anak muda yang masih buta mengenai pahlawan dan tokoh besar Indonesia. Meski begitu, ada yang mengetahui nama pahlawan hanya pada permukaan dan kulit-kulitnya. Tidak serius menyelami dalamnya lautan keteladanan yang ada pada diri tokoh besar tersebut. ’’Kenapa saya tahu ini, (anak-anak banyak yang tak tahu sejarah pahlawan)? Ya, karena saya mengajar juga. Menjadi guru di sekolah,’’ ujar Haidar.
Selain menulis, kesibukan Haidar memang mengajar di salah satu sekolah swasta di Jogjakarta. Hampir setiap hari, dia berinteraksi dengan murid-muridnya di sekolah. Salah satu yang selalu disorot secara serius adalah pengetahuan anak didiknya mengenai sejarah pahlawan. ’’Di buku ajar, nama-nama pahlawan yang diceritakan juga sedikit. Kehidupan para pahwalan tidak dipaparkan secara lengkap,’’ tuturnya. Harapannya, siswanya menggali sejarah tokoh dari sumber lain di luar buku ajar. Namun, hal itu belum mendapat respons menggembirakan.
Meski begitu, pria kelahiran Sleman, 29 Juni 1986, itu tidak ingin menyalahkan sebagian anak muda yang kurang tertarik membaca buku sejarah. Itu pilihan setiap orang yang mesti dihargai. Apalagi buku sejarah masih identik dengan bacaan yang berat sehingga pembacanya selalu serius saat membuka setiap halaman buku. Yang mesti dilakukan adalah mencari cara agar orang yang sebelumnya tidak suka membaca buku sejarah menjadi menggemari dan kecanduan membaca. ’’Buku-buku sejarah kan terkesan berat. Banyak catatan kaki yang bikin ruwet,’’ jelas Haidar.
Suami Duwi Listiani itu akhirnya memutuskan untuk menulis novel biografi. Novel pertamanya berjudul Tuhan, Aku Ingin Kembali yang terbit pada 2014. Novel tersebut merupakan biografi dan kisah perjalanan hidup Ustad Jefri Al Buchori. Setelah itu, Haidar semakin produktif melahirkan novel-novel biografi tokoh. Riwayat hidup pahlawan pun diliriknya sebagai materi novel yang menarik untuk diketahui pembaca. Di antaranya, Sang Guru (novel biografi Ki Hadjar Dewantara), Cahaya dari Kota Gadang (biografi Hadji Agus Salim), Dahlan (biografi pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan), Hamka (biografi ulama dan pahlawan Hamka), serta Api Republik (biografi Sultan Hamengku Buwono IX).
Khusus novel Hamka dan Hamengku Buwono IX, Haidar menulisnya secara berseri. Novel Hamka dua seri dan Sultan Hamengku Buwono tiga seri. Bedanya, dua seri novel Hamka sudah bisa dibaca para pembaca setia karya Haidar. Novel biografi Sultan Hamengku Buwono IX berbeda. Seri kedua novel trilogi tersebut masih digarap Haidar. Buku pertama terbit pada November 2017. ’’Kalau buku pertama Sultan Hamengku Buwono itu kan ceritanya dari sejak beliau kecil sampai naik takhta. Di buku kedua dan ketiga nanti, dari menjadi raja sampai kiprah beliau untuk Nusantara,’’ papar Haidar.
Bagi Haidar, menulis novel biografi tokoh melahirkan kebanggaan tersendiri. Dia bisa menghadirkan sosok teladan dengan cara yang ringan sehingga mudah dicerna anak muda. Dengan begitu, anak muda menjadi tahu keluhuran budi orang-orang hebat yang dipeluk erat oleh sejarah. Bagi dia, sampai kapan pun, pesona para kekasih bangsa itu tetap memancar. Air mata keteladanan terus mengalir deras hingga generasi ke generasi. Tak akan pernah berhenti sampai mati. ’’Alhamdulillah, mendapat respons bagus (dari pembaca). Bahkan, kalau tidak salah, novel Hamka itu akan masuk cetakan kedua,’’ ujarnya bangga.
Putra pasangan allahuyarham Sudarman dan Wantinem itu bertekad memberikan karya maksimal untuk para pembacanya. Karena itu, meski sejarah tokoh yang ditulisnya berbentuk novel, dia memastikan bahwa setiap sosok dan peristiwa yang diceritakan memang benar. Bukan rekaan.
Selain mewawancarai sumber-sumber tepercaya dan dekat dengan tokoh tersebut, dia melakukan riset serius. Haidar mempelajari buku-buku yang bersinggungan dengan para tokoh. Dia juga mendatangi langsung tempat-tempat yang pernah menjadi bagian dari hari-hari para tokoh. ’’Walaupun novel, tapi tidak boleh keluar dari pakem sejarah,’’ ungkapnya.
Untuk menulis novel Hamka, Haidar datang langsung ke tanah kelahiran ulama yang memiliki nama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah itu di Maninjau, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Sekitar dua minggu, dia berada di daerah tersebut untuk menelusuri bukti-bukti sejarah yang masih tersisa.
Termasuk mengunjungi museum yang menyimpan beberapa peninggalan Hamka. ’’Museumnya kan di situ juga, termasuk danaunya juga. Itu tempat yang paling jauh saya kunjungi hingga kini. Kalau novel lain seperti Dahlan kan dekat. Di sini (Jogjakarta, Red) saja,’’ tuturnya. Secara keseluruan, Haidar bahkan menghabiskan waktu sekitar empat tahun untuk menyelesaikan novel Hamka. Novel tersebut paling lama dikerjakan jika dibandingkan dengan beberapa karyanya yang lain.
Haidar merasa tidak menemukan kesulitan yang berarti dalam menggarap novel-novel biografi. Tantangannya sama dengan tantangan dalam menulis buku-buku lain. Terlebih, keluarga tokoh sangat mendukung segala ikhtiar Haidar. Mereka membantu setiap penulisan. ’’Sebab, setiap saya akan menulis novel selalu minta izin sama keluarga tokoh itu. Saya mewawancarai mereka,’’ ucapnya. Bahkan, sebelum novel yang ditulisnya terbitkan, dia mengirimnya ke keluarga tokoh untuk dikoreksi. ’’Makanya, setelah terbit, tidak ada komplain dari pihak keluarga tokoh karena sebelumnya dikoreksi,’’ ungkapnya.
Haidar ingin terus berada di jalan yang telah dipilih saat ini. Dia menulis banyak biografi pahlawan dan tokoh bangsa untuk disuguhkan kepada pembaca. Khususnya kepada anak-anak muda. Selain Sultan Hamengku Buwono IX yang sekarang dalam penulisan buku kedua dan ketiga, dia telah memiliki list nama-nama tokoh bangsa lain yang tulis berikutnya. Dua di antaranya adalah Wakil Presiden Pertama Bung Hatta dan tokoh Masyumi sekaligus bapak bangsa M. Natsir. ’’Dengan semakin banyak yang tahu kehidupan para tokoh bangsa, mata rantai keteladanan tidak akan terputus,’’ jelas Haidar.
Sebelum memutuskan menulis novel biografi, Haidar menulis belasan judul buku. Buku pertamanya adalah Allah Maha Pengampun yang diterbitkan salah satu penerbit ternama pada 2012. Selanjutnya, buku-buku Islam inspiratif terus lahir dari ide cemerlangnya. Di antaranya, Detik-Detik Menjelang Kematian, Hidup Berkah dengan Doa, Siapa Bilang Orang Berdoa Nggak Bisa Masuk Surga?, Agar Pintu Surga Terbuka untukmu, Jangan Kalah oleh Masalah, Kode dari Tuhan, Agar Rezeki Tak Pernah Habis, Cerdas Mendahsyatkan Potensi Hati dan Pikiran, Agar Nikah Berlimpah, Pesan dari Tuhan, Doa-Doa Harian bagi Muslimah, Tuhan, dan Saya Ingin Kaya.
Menjadi penulis merupakan pekerjaan mulia. Pesan kebajikan yang ditulis akan abadi di langit-langit ilmu. Ia menjadi warisan yang berharga untuk menuntun akhlak dan nalar umat lintas generasi. Selain itu, keputusan Haidar untuk menjadi penulis berangkat dari rasa cinta kepada dirinya sendiri. Bagi dia, menjadi penulis akan membuatnya sebagai manusia pembelajar. Sebab, penulis yang baik adalah pembaca yang baik pula. Nyaris tidak mungkin kita menjumpai para penulis hebat di dunia ini yang tidak suka membaca. ’’Menjadi penulis itu akan memaksa saya mencari dan membaca buku-buku karena penulis butuh asupan ilmu dan informasi dari buku-buku,’’ terang pria berusia 31 tahun itu.
Haidar tak menyesal meski sekarang menjalani sesuatu yang bukan cita-citanya saat kecil. Haidar kecil dulu bercita-cita sebagai dosen. Fokus menghabiskan hari-hari mengajar dari kampus ke kampus.
Hal itu tak lepas dari pesan embahnya agar Haidar kelak menjadi manusia bermanfaat dengan memberikan ilmu kepada banyak orang. Terlebih, citra menjadi guru atau dosen di kampungnya saat itu sangat luar biasa. Semua orang segan kepada dosen dan guru. ’’Apalagi kalau jadi PNS. Itu sudah sangat luar biasa,’’ katanya lalu tersenyum mengenang masa-masa kecilnya.
Meski begitu, dia menilai menjadi penulis tidak kalah mulia ketimbang guru. ’’Kan sama-sama bermanfaat dan menyebar ilmu untuk banyak orang. Bahkan, manfaat menjadi penulis lebih luas lagi,’’ papar Haidar. Alumnus salah satu perguruan tinggi swasta jurusan komputer itu berharap terus diberi kesempatan oleh Tuhan untuk terus menebar inspirasi lewat karya-karyanya. Dia ingin terus menikmati setiap saat profesi yang dicintainya. Hingga kini, Haidar ingat rasa bahagia yang sangat luar biasa saat pertama bukunya terbit pada 2012. Persis yang pernah dibayangkan saat membaca buku-buku karya orang lain. ’’Dulu, setiap kali baca buku, saya selalu berpikiran begini, kayaknya senang kali ya biografi kita yang di buku dibaca orang lain,’’ ungkap Haidar lantas tersenyum.
Haidar menyadari bahwa perjalanannya saat ini amat panjang. Misi utamanya untuk membuat generasi zaman now melek sejarah tokoh bangsa belum sepenuhnya berhasil. Namun, menjadi manusia yang berdaya guna telah dimulai. Persis seperti pesan embahnya dulu. Melalui karya-karyanya kelak, sebuah pencapaian dahsyat tumbuh dengan munculnya Dahlan-Dahlan dan Hamka-Hamka baru, karena anak-anak muda Indonesia semangat mempelajari sejarah tokoh-tokoh bangsa. (*/co4/fai)
HAIRUL FAISAL, Jawa Pos, 24 November 2017
Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

15 − 8 =