Oleh : Ridwan Nurochman
Sosrokartono merupakan tokoh nasional yang pernah dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dia dikenal dengan filosofi hidup “Sugih Tanpo Bondo”. Bukan hanya itu, dia juga dikenal karena kemampuannya dalam menguasai banyak bahasa asing. Sosrokartono adalah kakak kandung dari tokoh emansipasi wanita, RA Kartini. Meskipun demikian, sangat sedikit yang mengenal siapakah sosok Raden Mas Panji Sosrokartono. Siapakah dia adanya? “Sejarah lebih banyak memberitakan RA Kartini, sementara jika harus membandingkan antara dua orang ini, Sosrokartono dan Kartini kita akan dapati fakta bahwa Kartini itu bagai ‘garam di lautan ilmu Sosrokartono’. Ini tidak bermaksud untuk mengecilkan seorang Kartini di hadapan Sosrokartono”. (hal.15)
Bila dibandingkan dengan Kartini, sejatinya Sosrokartono jauh lebih besar kecakapannya. Ada banyak fakta sejarah yang sulit dibantah dari kebesaran Sosrokartono jika dibandingkan dengan Kartini. Kecakapan-kecakapan itu seperti, Sosrokartono menguasai dan fasih berbahasa asing. Tak kurang dari 26 bahasa (9 bahasa asing Timur dan 17 bahasa asing barat), Sosrokartono juga orang pertama yang menjadi seorang sarjana dan memperoleh gelar dari sebuah universitas di negeri Belanda. Dan masih banyak kecakapan lainnya.
Buku ini dengan tampilan berupa novel biografi Sosrokartono, akan mengupas dan mengulik secara detail dan mendalam tentang perjalanan hidup cerita seluk beluk dan proses yang dilalui Sosrokartono. Aguk Irawan M.N sebagai penulis buku ini, mencoba menggambarkan bagaimana seseorang menjadi besar oleh jiwanya. Jiwa seorang Sosrokartono. Jiwa “Menjadi Sosrokartono”, yang pada akhirnya “memproduksi kebijaksanaan-kebijaksanaan hidup”, yang selanjutnya dikenal sebagai “ajaran Sosrokartono”.
Sosrokartono lahir pada rabu pahing, 10 april 1877 di Mayong, Jepara, dari seorang ibu biasa namun mengalir darah ningrat. Bapaknya yang bernama Sosroningrat adalah seorang asisten wedana yang kemudian diangkat menjadi bupati Jepara. Semenjak kecil, Sosrokartono telah menunjukkan tanda-tanda bahwa dia akan menjadi orang yang besar. Sosrokartono sudah mulai gemar membaca semenjak kecil. Tanda-tanda kecerdasan dan kebijaksanaan pun tampak ketika umurnya kurang lebih empat tahun. Namun, diantara tanda-tanda tersebut, yang paling aneh adalah kemampuannya untuk meramal masa depan. Suatu ketika, Sosrokartono merasa enggan untuk bermain hingga ibunya bertanya kenapa dia tidak mau main lagi, Sosrokartono menjawab jika ia mau pindah ke Jepara. “Hal itu pun terbukti ketika pada tahun 1881, datang sepucuk surat dari Pemerintah Hindia Belanda yang berisi keputusan tentang pengangkatan Ario Sosroningrat sebagai bupati Jepara”. (hal.82)
Selama hampir lima tahun, Sosrokartono menjalani hari-harinya di HBS. Semakin hari, Sosrokartono menunjukkan diri sebagai seorang pemuda yang cakap dan mumpuni, terutama dalam hal bahasa. “Di HBS, Sosrokartono tak hanya memperdalam dan memperlancar kemampuan tulis dan bicara Belandanya saja, tetapi ia juga mempelajari beragam bahasa di dunia. Sementara, jiwanya yang bersih dan sungguh-sungguh, telah menolongnya untuk mudah menyerap pelajarannya terhadap berbagai bahasa itu. Tak heran, ketika Sosrokartono lulus dari HBS pada 1897, buah karangannya dalam ujian akhir justru tidak ia buat dalam bahasa Belanda, melainkan bahasa Jerman”. (hal.113)
Setelah lulus dari HBS, Sosrokartono pun melanjutkan pendidikannya hingga ke negeri Belanda. Atas anjuran Ir.Heyning Sosrokartono berencana untuk mengambil jurusan teknik, khusunya teknik pengairan. Sebenarnya, Sosrokartono meras ragu dengan anjuran tersebut. Sosro pun mengutarakan anjuran tersebut kepada Romonya. Ario Sosroningrat setelah selesai mendengarkan pun berkata, “Putraku, aku khawatir bahwa apa yang dikatakan oleh tuan Heyning itu benar adanya. Cepat atau lambat, Jepara ini bisa mengalami krisis air. Kau pun bisa melihat sendiri, beberapa tahun terakhir ini, saat musim kemarau, sebagian tanah-tanah persawahan mengalami kekeringan. Memang, tak separah di Demak atau Grobogan. Aku pikir Tuan Heyning…” (hal.140)
Akhirnya, Sosrokartono pun berangkat ke negeri Belanda pada tahun 1897, tentunya setelah mendapat restu dari ibunya. Sebelum berangkat ibunya sempat berpesan “Di mana pun bumi kau pijak, di situ ada Tuhan yang mata-Nya akan selalu memandangmu; selalu mengawasimu. Jauhilah perkara-perkara yang dilarang agamamu. Kerjakan kewajiban-kewajiban agamamu. Pergilah kau, nak, dengan membawa restuku!” (hal.149)
Setelah berminggu-minggu terombang-ambing ombak dan badai, berlayar pula di atas lautann yang kadang tenang gemilang, akhirnya Sosrokartono pun tiba di negeri Belanda. Negeri yang selama ini hanya ada di dalam angan-angannya belaka. Sosrokartono, sempat tinggal beberapa hari di Rotterdam, sebelum akhirnya tinggal di kota Delft. Sosrokartono mengambil jurusan teknik seperti yang dulu disarankan oleh Ir. Heyning. Sosrokartono pun akhirnya masuk di Universitas TuD (Techishe Hogeschool van Delft).
Bulan-bulan pertama kuliah, antusiasme yang dimiliki Sosro sangat tinggi. Berbagai cabang ilmu yang memperlajari bumi dan bangunan tiap hari ia cecap. Namun, bersama itu pula, Sosro merasa bahwa apa yang dipelajarinya selama ini tidaklah penting. Jiwa Sosro pun merasa gersang, kering kerontang. Sosrokartono merasa dirinya tidak cocok kuliah ditempat tersebut. Akhirnya, Sosrokartono pun membuat pilihan untuk keluar dari kampus itu dan melanjutkan petualangan ilmunya di Leiden. Di Universitas Leiden, Sosrokartono mengambil jurusan bahasa. Untuk masuk universitas ini, para mahasiswa harus menguasai setidak-tidaknya bahasa Yunani dan bahasa Latin. Sosrokartonopun telah menguasai dengan baik dua bahasa tersebut. Bahkan, beberapa guru besar telah membicarakan pemuda itu. ”Kemampuan bahasa Yunani dan Latinnya sama bagusnya dengan bahasa Arab, ucap de Goeje”. (hal.175). Tak heran, berkat kemampuannya tersebut, Sosrokartono pada Maret 1899, diangkat menjadi anggota Instituut Voor Land-en Volkenkunde, sebuah lembaga yang mempelajari dan meneliti kebudayaan suku bangsa Nusantara.
Bukan hanya itu, prestasi yang diperoleh berkat kepandaiannya dalam berbahasa asing. Salah satu guru bersarnya, Prof. Dr. H. Kern, memberikan undangan Kongres Bahasa dan Sastra Belanda yang akan diadakan di kota Gent, Belgia. Dibawah judul Het Nederlandsch in Indie (bahasa Belanda di Indonesia) pada 29 Agustus 1899, tampillah Sosrokartono berdiri di balik mimbar, berpidato dalam bahasa Belanda yang mengguncangkan tiang-tiang negara. “Dengan tegas saya menyatakan diriku sebagai musuh dari siapa pun, yang akan membikin kita menjadi bangsa Eropa atau setengah Eropa dan akan menginjak-injak tradisi serta adat kebiasaan kita yang luhur lagi suci. Selama matahari dan rembulan bersinar, mereka akan saya tantang!” (hal.195)
Melalui bahasa, Sosrokartono mengekspresikan rasa cintanya kepada bangsa Indonesia. Serta menunjukkan sikap nasionalisme yang sangat tinggi. Hingga tak heran, jika seorang Snouck Hurgronje sangat mengkhawatirkan keberadaan Sosro. Snouck pernah berkata “Seandainya ditanah Jawa ada sepuluh orang seperti dia, yang punya niat dan tujuan untuk mamajukan rakyat dan bangsanya bukankah itu adalah ancaman yang nyata bagi kepentingan kita sebagai orang Belanda”. (hal.207). Buku ini sangat patut dibaca oleh masyarakat luas sebagai tambahan wawasan dan memperluas cakrawala.