Menguak Sisi Berbeda Sang Proklamator Ulung

Penulis : Muhammad Sapi’i, Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Palangka Raya

Sukarno sebagai seorang tokoh besar punya banyak hal yang menarik untuk diperhatikan, bahkan sampai hal-hal terkecil tentangnya. Lapisan-lapisan kehidupannya seakan  tidak bakal habis dikupas. Banyak buku yang membahas itu, tapi yang tentunya paling gurih adalah yang diceritakan langsung oleh orang yang hampir setiap hari bergaul dengannya. Eddi Elison, mantan wartawan yang paling  istikamah blusukan di Istana Kepresidenan menghadirkan itu: bahkan sampai soal kebiasaan Bung Besar minum air seduhan kacang hijau, makan biji durian mentah, hingga nekat jual artikel demi menyuguhkan peuyeum pun dimunculkan disini.

Itulah Bung Karno, dengan segala sifatnya yang humanis dan nasionalis, yang hanya bisa dipahami ketika kita membaca Pak Presiden dari jarak yang paling dekat.  Dan kita pun beruntung, dapat merasakan kehadiran beliau melalui buku “Membaca Sukarno dari Jarak Paling Dekat” ini, sebuah karya fenomenal tak habis ditelan zaman. Mari sejenak berpikir, mengapa kedaulatan sebuah bangsa dapat diakui dan disegani oleh bangsa lain? Salah satu faktornya karena pemikiran The Founding Fathers yang berjiwa besar, tanpa pamrih membela bangsanya, memperjuangkan hak-hak rakyatnya. Itulah sifat dan karakter yang dimiliki oleh Bapak Bangsa ini, yakni Bung Karno.

Kehebatannya tercermin dari pemikirannya yang brilian. Kemampuan Sukarno menggali biji-biji mutiara keindonesiaan  yang tertanam di Bumi Pertiwi, sampai akhirnya berhasil diraciknya menjadi Pancasila, membuktikan bahwa dia  dapat dikategorikan sebagai “manusia luar biasa”–karena melahirkan suatu pemikiran yang merupakan masterpiece, karya agung budaya intangible bangsa.

“Pancasila bukanlah suatu konsepsi politik, tapi buah hasil renungan jiwa yang dalam, buah hasil penyelidikan cipta yang teratur dan  saksama di atas basis pengetahuan dan pengalaman yang luas, yang tidak begitu saja dapat dicapai orang”, kata Prof. Mr. Drs. Notonagoro. Hal tersebut dapat dicapai Bung Karno, mungkin, lantaran ia mengacu pada metode yang dikemukakan Charles Luckman, “Sukses adalah abjad A-B-C kuno–Ability (bakat), Breaks (terobosan) dan Courage (keberanian/keteguhan hati).

Sikap Bung Karno sarat mosaik, penuh variasi. Bisa dicatat: Bung Karno adalah seorang orator, pola pikirnya futuristik, humanis sejati, pemberani, pengampun, pelukis, penyair, kolumnis, karikaturis, pencinta seni, pengagum keindahan, juga romantis. Kenapa semua atribut itu ada pada Sukarno? Sulit untuk dibantah, bahwa kondisi keluarga Bung Karno yang majemuk atau plural telah membentuk pribadi dan pola pikirnya yang toleran dan akomodatif terhadap berbagai masalah pada zamannya.

Siapa pun yang rajin menelusuri, apalagi meneliti, pola kehidupan Sukarno–selanjutnya disebut Bung Karno–baik melalui  berbagai buku  yang beredar dalam berbagai bahasa atau berinteraksi langsung, dipastikan dapat menarik kesimpulan bahwa pola tingkah laku atau kegiatan Bung Karno pada saat sebelum, ketika, dan selepas menjadi Presiden Republik Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari humanisme dan nasionalisme yang luar biasa.

Oleh karena itulah, sebagai generasi penerus bangsa di era disrupsi seperti saat ini, kita tidak boleh terlepas dari sifat humanis dan nasionalis, agar rasa persaudaraan sebangsa dan setanah air terus terjalin dan terpupuk. Sehingga tujuan dari bangsa ini tercapai dengan baik sebagaimana mestinya. Hendaknya kita selalu mengambil sisi baik dari setiap peristiwa yang terjadi dan menjadikannya sebagai pelajaran hidup. Jangan sekali-kali kita melupakan sejarah, karena sejarah merupakan ujung tombak berdirinya sebuah bangsa dan sebagai penerus pejuang bangsa, kita harus menahkodai bangsa ini ke arah yang lebih baik.

Beruntung Bapak Bangsa si Putra Fajar hadir ditengah-tengah kita, kedermawanannya mampu membius siapa saja yang bertatap sapa dengannya. Selalu membaur dengan masyarakat, sederhana dan mempesona. Tak kenal lelah dan pantang menyerah. Para tokoh dunia turut kagum padanya, seperti Wakil Presiden AS Richard Nixon yang menulis: “Pertama kali saya bertemu Sukarno, tahun 1953, ia bukan bercerita tentang keindahan negerinya, seperti kebanyakan tamu-tamu saya dari negara-negara yang baru merdeka. Tetapi pertemuan kami dipenuhinya dengan curahan kegairahan untuk merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Obsesinya yang legendaris tersebut tidak begitu mengejutkan saya, karena beberapa hari sebelumnya, Perdana Menteri Australia Robert Menzies dengan sangat antusias sudah meminta pandangan saya mengenai tuntutan Sukarno itu.

Sukarno adalah seorang tuan rumah yang bermartabat, tidak seperti  kebanyakan pemimpin bangsa-bangsa berkembang lain jika bertemu saya. Dia sama sekali tidak memperlihatkan perasaan rendah diri sedikit pun, bahkan semula saya nilai cenderung agak sombong. Namun, ketika dia ajak saya berjalan-jalan keliling Istana Negara, ternyata dengan bahasa Inggrisnya yang sangat fasih, dia tampak rendah hati, luwes serta menyenangkan sekali (hlm 252).”

Begitupun guru-gurunya yang memantik semangatnya sedari muda, telah mengakui kecerdasan dan kewibawaan Sukarno, seperti Sarinah, Wagiman,  Marhaen (Trio Dosen Ndeso Sukarno), HAJI Oemar Said Tjokroaminoto, Danudirdjo Setiabudhi (Profesor di Luar Kampus Sukarno), HOS. Tjokroaminoto (Mertua sebagai Guru dan Sahabat Sukarno) dan Buya Hamka (Seteru dan Sahabat Sukarno) sang revolusioner bangsa yang penuh karisma.

Pernah dimuat di Harian Kabar Madura edisi Rabu, 1 April 2020

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 × 4 =