Senin malam, 7 Mei 1951 bertepatan dengan 30 Rajab 1370 H, Pemerintah Indonesia menggelar peringatan Isra’ dan Miraj’ Nabi Muhammad saw di Istana Negara, Jakarta. Dalam acara tersebut, Presiden Soekarno menyampaikan pidato kenegaraan yang kemudian dipancarkan secara nasional, baik melalui surat kabar-surat kabar maupun melalui Radio Republik Indonesia (RRI). Di antara hal penting yang disampaikan Presiden Soekarno dalam pidato itu adalah ajakan agar rakyat di seluruh Indonesia berjuang untuk menegakkan negara dalam persatuan yang kokoh, serta menjadikan Pancasila sebagai dasar menegakkan negara.[1]
Hal itu disampaikan Presiden Soekarno karena menurutnya masih ada golongan di negara Indonesia yang berjuang membela negara tidak berdasarkan pada Pancasila secara utuh. Ada yang berjuang hanya berdasarkan pada sila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” saja, dan ada juga yang berjuang hanya berdasarkan pada sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” saja. Presiden Soekarno menyimpulkan bahwa rukun Pancasila serupa juga dengan rukun Islam, yang tidak boleh hanya dikerjakan salah satunya saja. Oleh karena sebab itulah yang kemudian mendorong Presiden Soekarno untuk menyerukan agar seluruh rakyat Indonesia berjuang dengan kembali berpedoman pada Pancasila secara utuh.[2]
Pidato Presiden Soekarno tersebut menuai pro dan kontra. Ada pihak yang menyetujui, tapi tidak sedikit yang menolaknya karena merasa apa yang disampaikan penguasa itu dalam menafsirkan Pancasila dinilai kurang tepat. Ada yang beranggapan bahwa yang dimaksud Presiden Soekarno sebagai kelompok yang berjuang hanya dengan bersandar pada sila, “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” saja adalah golongan sosialis. Di antara umat Islam yang emosional dan mudah tersinggung perasaannya, menganggap apa yang dikatakan oleh orang nomer satu di Indonesia itu sebagai sindiriran. Menganggap jika kelompok yang dimaksud Presiden Soekarno berjuang hanya bersandar pada sila. “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah orang-orang Muslimin. Bahkan, ada di antara mereka yang mengatakan jika pidato yang disampaikan Presiden Soekarno tersebut tak ubahnya sebagai sebuah sindirian bagi Masyumi.[3]
Buya Hamka, yang ketika itu masih berusia 43 tahun dan merupakan anggota aktif di Masyumi dianggap sebagai orang yang tepat untuk memberikan tanggapan atas pidato yang disampaikan Presiden Soekarno. Teman-temannya di Masyumi kemudian memintanya dengan sangat agar berkenan membuat sebuah uraian yang menjelaskan bagaimana sesungguhnya umat Islam memandang Pancasila.[4] Atas permintaan itu, Buya Hamka kemudian memberikan penjelasan kepada mereka, meski di dalam politik orang disuruh berburuk sangka dengan dasar ‚Ihtarisu bi suiz- zhanni‛ (berjaga-jagalah dengan memakai jahat sangka), tapi terhadap “Ketuhanan Yang Maha Esa” tidak berlaku. Hal itu tak lain karena “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi pokok dan asas kehidupan dari berjuta-juta umat di dunia ini. Tidak boleh kita (maksudnya orang-orang Masyumi) tergesa-gesa menilai buruk atas apa yang disampaikan oleh Presiden Soekarno.[5]
Selanjutnya, Buya Hamka mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud oleh Presiden Soekarno mengenai golongan yang berjuang hanya bersandar pada sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” saja itu bukanlah orang-orang Masyumi. Dengan kata lain, ulama kelahiran ranah Minangkabau itu mengatakan bahwa yang dimaksud oleh Presiden Soekarno dalam pidatonya itu bukan kaum pergerakan Islam, dan bukan pula pemimpin-pemimpin Islam. Buya juga mengatakan jika yang kaum pergerakan Kristen pun juga tidak. Lalu, Buya Hamka menjelaskan bahwa Presiden Soekarno adalah seorang pemimpin yang sudah mengetahui secara pasti dasar-dasar ideologi dan filsafat dari Pancasila. Hal itu karena di dalam perpustakaannya Soekarno memiliki banyak sekali buku yang membahas tentang Islam berikut mengupas filsafatnya. Pemahaman Soekarno yang dalam mengenai Islam tentu tidak akan membuatnya menuduh umat Islam, khususnya para pemimpin Islam, sebagai golongan yang hanya berjuang dengan bersandar pada satu sila saja, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”.[6]
Menurut Buya Hamka, pintu kemerdekaan Indonesia dibuka dengan sebuah keyakinan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal itu tak lain karena bangsa Indonesia secara jujur mengakui bahwa kemerdekaan yang berhasil di dapatkannya merupakan atas berkat rahmat Allah, Tuhan Yang Maha Esa.[7] Selanjutnya, Hamka menjelaskan bahwa setelah Indonesia merdeka, maka nilai-nilai tauhid diletakkan ke dalam falsafah luhur Pancasila. Hal inilah yang kemudian dilihat Buya Hamka bahwa nilai religius bangsa sudah ada, untuk kemudian dijadikannya sebagai falsafah yang tidak dapat diintepretasikan sesaat melalui pendekatan retorika politik.[8]
Buya Hamka secara jujur mengakui bahwa dirinya menerima Pancasila sebagai dasar negara karena menjadikan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai ruh daripada Pancasila itu sendiri. Dengan menempatkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada sila yang pertama, hal itu menunjukkan jika bangsa Indonesia dibangun atas dasar iman, yaitu kepercayaan hanya kepada Allah, Tuhan Yang Esa.[9] Namun ketika Presiden Soekarno menerangkan bahwa jika diperas Pancasila akan menjadi satu, “Gotong-royong”, sehingga tidak ada lagi peran Tuhan dalam proses kemerdekaan bangsa mau pun jati diri bangsa yang bertuhan, maka Buya Hamka dengan tegas menentangnya. Buya Hamka menolak keras pemaknaan Pancasila sebagaimana yang ditafsirkan oleh Presiden Soekarno.[10]
Selanjutnya, untuk menanggapi penafsiran Presiden Soekarno tersebut, Buya Hamka kemudian membuat tulisan berjudul, “Urat Tunggang Pancasila”. Tulisan tersebut merupakan pandangan Buya Hamka secara pribadi untuk menafsirkan Pancasila sebagai dasar negara.
Di dalam tulisannya tersebut, Buya Hamka menyatakan bahwa sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan urat tunggang daripada Pancasila itu sendiri. Inti paling pokok dari empat sila yang lainnya. Sebab, di dalam sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” terkandung ajaran tauhid, yang memberikan pengakuan bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang layak disembah. Tidak ada Tuhan salin selain daripada-Nya. segala yang ada di muka bumi tunduk pada kehenda dan kekuasaan_nya. “Ketuhanan Yang Maha Esa” juga dimaknai Hamka sebagai kesadaran untuk meng-Esa-kan tujuan hidup seluruh alam, baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa. Menurut Hamka, “Ketuhanan Yang Maha Esa” telah berhasil menyatukan tiga perkara, yaitu manusia, kehidupan manusia, dan alam semerta. Tiga hal tersebut kemudian diikat dengan satu sebutan, yaitu “Al-Makhluk” atau yang diciptakan. Adapun Allah yang terkandung pada sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah “Al-Khaliq” atau Yang Maha Mencipta.
Selanjutnya, Buya Hamka memberikan penekanan bahwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan sila pokok yang tidak bisa ditafsirkan lain, serta tidak bisa diletakkan sejajar atau bahkan lebih tinggi dari empat sila yang lainnya, sebagaimana yang diinginkan oleh golongan yang hendak memisahkan negara dan agama Islam atau yang ingin menghapus makna dan kata “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Pancasila atau Allah dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.[11]
Bambang Galih Setiawan dalam, Islam dan Pancasila Menurut Hamka, menulis bahwa Buya Hamka memandang sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah tujuan dari Pancasila dan bangsa Indonesia. Pancasila sebagai falsafah negara akan hidup dengan subur dan terjamin, jika sekiranya kaum Muslim bersungguh-sungguh memahami agamanya, sehingga ia menjadi pandangan dan mempengaruhi seluruh perbuatan hidup dan perilakunya. Tidak ada suatu agama atau ideologi lain yang dapat menjamin kesuburan Pancasila di Indonesia ini selain Islam.[12]
Dengan pandangannya yang seperti itu, tentu wajar jika Buya Hamka menolak keras pendapat Roeslan Abdoelghani yang menyatakan bahwa Pancasila tidak memiliki urat tunggang sehingga pantas dimaknai sebagai Manipol-Usdek. Roeslan menyatakan, karena Pancasila tidak memiliki urat tunggang, maka “Ketuhanan Yang Maha Esa” bukan urat tunggang Pancasila. Buya Hamka menolak pandangan tersebut karena dinilai bertentangan dengan pendapatnya yang menyatakan bahwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi urat tunggang dari seluruh sila yang ada dalam Pancasila. Hal inilah yang kemudian membuat Buya Hamka berkeyakinan bahwa dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama yang menjiwai keempat sila yang lainnya dalam Pancasila, maka bangsa Indonesia meletakkan pondasi tauhid dalam berbangsa dan bernegara.[13]
Pada 28 Maret 1952 Presiden Soekarno melakukan pertemuan dengan pegawai-pegawai dari Kementerian Penerangan RI. Dalam pertemuan itu Presiden Soekarno mengatakan bahwa, “Pancasila itu telah lama dimiliki oleh bangsa Indonesia, sejak lahirnya Sarekat Islam yang dipelopori oleh HOS. Tjokroaminoto…”
Buya Hamka menambahi apa yang dikatakan Presiden Soekarno itu dengan menulis, “Pancasila telah lama dimiliki oleh bangsa Indonesia, jauh sejak seruan Islam sampai di Indonesia. Kita tidak perlu merasa khawatir falsafah Pancasila akan terganggu, selama urat tunggangnya masih tetap kita pupuk, yaitu ‘Ketuhanan Yang Maha Esa”.[14]
Selanjutnya, Buya Hamka juga menegaskan bahwa awal dan pangkal dari perjuangan kemerdekaan Indonesia terletak pada satu sila pertama dalam Pancasila. Buya menyebut bahwa perjuangan kemerdekaan ini dipelopori oleh manusia-manusia besar yang senantiasa berkeyakinan pada “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Selanjutnya, Hamka mengambil contoh pejuang-pejuang kemerdekaan seperti, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Tengku Cik Di Tiro, dan pejuang-pejuang Islam yang lainnya adalah orang-orang yang berjuang dan berjihad karena “Ketuhanan Yang Maha Esa”. “Rakyat jelata tampil kemuka dengan bambu runcing, demikian juga dengan kyai-kyai dan santri-santrinya tampil kemuka. Pondok dan surau berubah menjadi markas perjuangan kaum gerilyawan. Tidak ada perhitungan, hanya satu saja, ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Cobalah tanya kepada Bung Karno, Bung Hatta bukankah hanya itu saja modal yang ada dalam hati mereka pada waktu itu?” tulis Buya Hamka dalam bukunya, Urat Tunggang Pantjasila.[15]
Pada 1 Januarai 1968 bertepatan dengan 1 Syawal 1387 H, Buya Hamka diberi kesempatan memberikahn khotbah Hari raya Idul Fitri di Istana Negara, Jakarta. Dalam khotbahnya itu, ulama kelahiran Maninjau, 17 Februari 1908 itu menyampaikan tema “Pancasila Akan Hampa Tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pada kesempatan itu, Buya Hamka menyampaikan bahwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan dasar hidup kita (warga negara Indonesia) yang pertama, baik dalam beragama maupun bernegara. Kemudian dengan sendirinya, apabila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sudah diimani atau dipercayai dengan sungguh-sungguh, pastilah tumbuh satu demi satu sila yang lainnya.[16]
Selanjutnya, Buya Hamka mengumpamakan Pancasila yang menjadi falsafah negara Indonesia dengan satu kekayaan yang besar dan luas, yang diberi nilai angka 10.000. Angka yang di depan sekali adalah angka satu, itulah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Angka-angka berikutnya, empat berderet adalah perikemanusiaan, kebangsaan, kedaulatan rakyat dan keadilan sosial, semuanya dilambangkan dengan angka nol. Oleh karena itu, selama angka satu masih ada, maka selama itu juga angka nol yang empat jumlahnya dan berderet dibelakangnya itu ada nilainya. Tapi jika angka satu sampai hilang, dan angka nol dibelakangnya masih ada akan menjadi tidak ada harganya meski nolnyua ditambah sampai berapa pun.[17]
“Angka satu sebagai angka pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Kalau angka satu ini dihapuskan atau dikaburkan, atau diselewengkan, maka keempat angka nol dibelakangnya akan menjadi kosong, tidak ada harganya, tidak bernilai sama sekali. Oleh karena itu, Pancasila benar-benar bukanlah cangkokan dari kiri kanan, gabungan empat isme dari luar, internasionalisme, nasionelisme, sosialisme, dan demokrasi ala Barat, ala Marxis, ala Yunani. Namun, suatu pandangan hidup dari satu bangsa yang percaya kepada Tuhan. Tinggal kita mengisinya,” tulis Buya Hamka di buku, Dari Hati Ke Hati.[18]
Lebih lanjut Buya Hamka menjelaskan bahwa jika kita, warga negara Indonesia, sudah percaya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” maka dengan sendirinya pasti logis dan wajar jika tumbuh dasar kedua, yaitu perikemanusiaan. Hal itu tak lain karena agama Islam mengajarkan bahwa seluruh manusia ini adalah umat yang satu. Buya Hamka juga mengatakan bahwa, percaya pada “Ketuhanan Yang Maha Esa” juga dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa kebangsaan. Hal ini tak lain karena Allah sendiri telah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar mereka saling mengenal antara yang satu dengan yang lainnya sebagaimana termaktub dalam Surah Al-Hujurat ayat 13. “Sebab itu kebangsaan kita bukan cauvinism atau membenci bangsa lain, karena membenci bangsa lain berlawanan dengan dasar kedua, yaitu perikemanusiaan dan melanggar dasar pertama, yaitu percaya kepada Tuhan,” tulis Hamka.[19]
Buya Hamka juga menerangkan bahwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” secara logis pasti akan menimbulkan musyawarah untuk mufakat, yang kadang disebut dekmokrasi dan terkadang disebut kedaulatan rakyat. Menurut Hamka, soal kedaulatan rakyat atau demokrasi, Tuhan tidak ikut campur karena hal itu mutlak urusan manusia. Artinya, tuhan hanya memberikan arahan dan manusia sendirilah yang melakukan pekerjaan itu sehingga didapat hasil yang sesuai dengan apa yang diinginkan Tuhan. Hamka juga menjelaskan bahwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan sendirinya pasti logis menimbulkan sila kelima, yaitu keadilan sosial. “Adil dan makmur yang merata karena kita manusia ini ditakdirkan Tuhan sama. Sama-sama hamba-Nya, tingkat hidup hanya soal kesanggupan. Salah satu dari nama Tuhan adalah “Al-Adl” yang berarti keadilan, sehingga kita harus berupaya mencapai keadilan tersebut. Dalam kehidupan kita sehari-hari, dalam amal dan ibadah, dalam berjamaah shalat, dalam puasa sebulan, dalam mengerjakan haji, jelas sekali adanya keadilan sosial,” tulis Buya Hamka.[20]
“Orang yang percaya kepada Tuhan pasti berperikemanusiaan. Orang yang percaya kepada Tuhan pasti mempertahankan persatuan Indonesia, pasti melakukan keadilan sosial, karena dia beriman kepada Tuhan. Sebab persatuan itu adalah janji kita sebagai bangsa yang sadar,” kata Hamka dalam pertemuan bersama Wanhankammas pada 25 Agustus 1976 dengan kapasitasnya sebagai Ketua MUI.[21]
Setelah menjelaskan bahwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan urat tunggang Pancasila, maka Buya Hamka menafsir “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Menurut Hamka, Perikemanusian bukan sila baru yang dibuatkan sekarang, ketika Indonesia sudah merdeka. Namun, kemanusiaan itu baginya adalah keimanan yang tidak dapat dipisahkan, atau hasil yang tumbuh langsung dari pada sila yang pertama, yaitu Ketuhan Yang Maha Esa saja. Sehingga jika ada orang yang melanggar perikemanusiaan, maka dia tidak bertanggung jawab di hadapan sesama manusia, dan tidak pula di hadapan Bung Karno sebagai pencipta dari falsafah Pancasila. Tapi dia akan bertanggung jawab secara langsung di hadapan Tuhan, dari sesuatu yang bernama dosa.[22]
Menurut Buya Hamka, “Persatuan Indonesia” dibangun atas dasar keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah mengajarkan bahwa sesungguhnya manusia itu diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal, agar mereka saling menjadi kawan dan tidak ada permusuhan. Menurut Hamka, karena yang jadi urat tunggang Pancasila adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan itu saja perjuangan yang pertama dan utama, dengan sendirinya kebangsaan dapatlah berjalan sebaik-baiknya. Sila kebangsaan adalah sesuatu yang tidak tetap.[23] Sebelum ada nasionalisme Indonesia, orang mencintai bangsanya secara sempit. Bangsa Bugis, bangsa Jawa (sehingga ada gerakan Groot Java), bangsa Minang (Minangkabau Raya), bangsa Melayu-Raya dan lain-lain. Persamaan nasib dan penderitaanlah yang menyebabkan kita mencari segala macam bahan dan alasan buat menetapkan kebangsaan Indonesia yang sekarang ini.[24]
Menurut Buya Hamka, kedaulatan rakyat merupakan kepercayaan, keyakinan dan pendirian dari orang yang berjuang dengan bersandar pada sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karena itu, barang siapa yang mengaku percaya kepada “Tuhan Yang Maha Esa”, dengan sendirinya dia pasti percaya pada kedaulatan rakyat, kedaulatan manusia.[25] Manusia diberi kebebasan memilih bentuk pemerintahan menurut susunan yang mereka kehendaki menurut kemajuan zaman dan tempat. Dengan satu dasar yang tetap, yaitu musyawarah atau yang selama ini lebih dikenal dengan istilah demokrasi. Rakyat wajib bermusyawarah memilih bentuk pemerintahan dan jika ada yang terpilih memegang kekuasaan, maka pemegangnya wajib bermusyawarah kembali dengan yang memberi kekuasaan. “Kalau engkau bersitegang urat leher dan hati membatu, orang-orang itu akan menjauhkan diri dari kelilingmu”. Kepada pemegang pemerintahan diwajibkan menjalankan kekuasaan dengan keadilan. Sebaliknya, bagi rakyat yang memberi kekuasaan diwajibkan menjaga, kalau-kalau yang diberinya kekuasaan itu keluar dari keadilan. Persis seperti yang dinasehatkan Rasulullah Saw, “Tidak boleh taat kepada sesama makhluk, kalau akan mendurhaka kepada Khalik.”[26]
Menurut Buya Hamka, sila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” tidak lain merupakan sebuah kewajiban untuk bersikap adil dan berlaku kepada siapa saja, baik masyarakat, pejabat negara, tak terkecuali kepada presiden. Keadilan tidak terpengaruh oleh kawan separtai atau pertentangan ideologi. Keadilan yang pernah dirasakan umat Islam ketika pemerintahannya didasarkan padanya. Keadilan yang harus dipertahankan sebab dialah sendi kekukuhan negara, meski terhadap teman karib dan musuh yang dibencinya sekali pun. Harus berlaku adil dan tidak terpengaruh oleh ejekan dan gangguan. Biar runtuh semua, tapi keadilan harus tetap tegak. Hal itu tak lain karena sebagai manusia yang beriman kepada “Tuhan Yang Maha Esa” kita selaku warga negara harus memiliki kepekaan sosial yang tinggi terhadap orang lain atau sesama warga negara. Semua itu dilakukan agar tercipta keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.[27]
Awalnya Buya Hamka menolak Pancasila sebagai dasar negara. Sebagai salah satu anggota konstituante mewakili umat Islam melalui wadah Partai Masyumi, Hamka adalah salah seorang yang gigih dalam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Dengan kata lain, saat masih duduk menjadi anggota Dewan Konstituante, Hamka turut mendukung gagasan mendirikan negara Indonesia yang berdasarkan Islam. Dalam berpolitik Hamka dikenal sangat tegas. Apa yang menjadi pandangannya ketika itu sama dengan pandangan sahabatnya, Mohammad Natsir yang menyatakan bahwa dasar negara Indonesia semestinya bukan Pancasila tetapi Islam.[28]
Hal itu tak lain karena mereka beranggapan bahwa Islam adalah dasar asli tanah air Nusantara dan pribadi sejati bangsa Indonesia. Menurut Hamka, sejak abad ke-19 perjuangan umat Islam untuk kemerdekaan Indonesia dilatarbelakangi oleh perjuangan menegakkan negara berdasarkan Islam. Kata Hamka, itulah yang dilakukan Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Cik Ditiro, Pangeran Antasari, Sultan Hasanuddin, dan lain-lain. Mereka semuanya berjuang mengusir kolonial Belanda dengan satu tujuan, yaitu ewujudkan cita-cita negara berdasarkan Islam. “Kamilah yang saat ini akan meneruskan wasiat mereka,” kata Buya Hamka.[29]
Namun pada akhirnya Buya Hamka memberikan kesimpulan bahwa, “Pancasila telah lama dimiliki oleh bangsa Indonesia, jauh sejak seruan Islam sampai di Indonesia. Kita tidak perlu merasa khawatir falsafah Pancasila akan terganggu, selama urat tunggangnya masih tetap kita pupuk, yaitu ‘Ketuhanan Yang Maha Esa”.[30] Kemudian Buya Hamka memberikan pernyataan bahwa dirinya menerima Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. “Saya menerima Pancasila, sebab saya ini seorang Muslim”.
Lalu, Hamka mengemukakan bahwa alasannya menerima Pancasila sebagai dasar negara Indonesia adalah karena sila pertama dari Pancasila tersebut adalan “Ketuhanan Yang Maha Esa” atau percaya kepada kekuasaan Tuhan, di mana hal itu merupakan dasar utama bagi seorang Muslim, dan kepercayaan itulah yang kemudian diyakini Hamka sebagai dasar terpeliharanya Pancasila.[31] Meski begitu, sebagai seorang Muslim, Hamka tidak meletakkan ingin meletakkan Pancasila menjadi urutan nomor satu di atas Islam. Tapi beliau hendak menjadikan Pancasila menurut pada pokok ajaran Islam yang sejati, yaitu tauhid sebagaimana juga yang menjadi pokok inti atau urat tunggang dari Pancasila itu sendiri, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Buya Hamka berusaha hidup sebagai Muslim sejati, serta dengan sepenuh keyakinan berusaha menjadi warga negara yang baik dengan cara menjadi seorang pancasilais yang sejati pula.[32]
[1] Hamka, Natsir, Muzakkir, Anshary, Singodimedjo. 1957. Debat Dasar Negara Islam dan Pancasila Konstituante. Hlm, 143. Dikutip Akmal R. Gunawan dalam, “Peran Tafsir Al-Azhar Terhadap Radikalisasi Pancasila”.
[2] Ibid. Hlm, 144.
[3] Ibid. Hlm, 145.
[4] Ibid. Hlm, 144.
[5] Gunawan, Akmal R. 2016. Peran Tafsir Al-Azhar Terhadap Radikalisasi Pancasila. Jurnal Al-Ibrah. Vol. 12 No. 2 Hlm, 123.
[6] Hamka, Natsir, Muzakkir, Anshary, Singodimedjo. 1957. Debat Dasar Negara Islam dan Pancasila Konstituante. Hlm, 145. Dikutip Akmal R. Gunawan dalam, “Peran Tafsir Al-Azhar Terhadap Radikalisasi Pancasila”.
[7] Prof. Dr. Hamka. 2015. Dari Hati Ke Hati. Jakarta: Gema Insani.
[8] Ibid. Hlm, 237. Dikutip Fokky Fuad dalam, “Moral Hukum dan Nilai-Nilai Kebangsaan: Sebuah Refleksi Pemikiran Buya Hamka”.
[9] Ibid. Hlm, 252.
[10] Ibid. Hlm, 252.
[11] Dikutip dari tulisan Bambang Galih Setiawan dalam, “Islam dan Pancasila Menurut Hamka” dari laman https://inpasonline.com dengan perubahan dan penyesuaian susunan kalimat oleh penulis. Diakses pada hari Selasa, 2 Juli 2019 Pukul 08:30 WIB.
[12] https://inpasonline.com. Diakses pada hari Selasa, 2 Juli 2019 Pukul 08:30 WIB.
[13] Prof. Dr. Hamka. 2015. Dari Hati Ke Hati. Jakarta: Gema Insani. Hlm, 253.
[14] Hamka. 1951. Urat Tunggang Pantjasila. Djakarta: Pustaka Keluarga. Hlm, 14-15.
[15] Ibid. Hlm, 14.
[16] Prof. Dr. Hamka. 2015. Dari Hati Ke Hati. Jakarta: Gema Insani. Hlm, 243.
[17] Ibid. Hlm, 244.
[18] Ibid. Hlm, 253.
[19] Ibid. Hlm, 243.
[20] Ibid. Hlm, 244.
[21] Panitia 70 Tahun Hamka. 1978. Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya Hamka. Jakarta: Yayasan Nurul Islam. Hlm, 275.
[22] Hamka, Natsir, Muzakkir, Anshary, Singodimedjo, Debat Dasar Negara Islam dan Pancasila Konstituante 1957: Urat Tungang Pancasila, 151. Dikutip Akmal R. Gunawan dalam, “Peran Tafsir Al-Azhar Terhadap Radikalisasi Pancasila”.
[23] Ibid. Hlm, 158.
[24] Akmal R. Gunawan dalam, “Peran Tafsir Al-Azhar Terhadap Radikalisasi Pancasila”. Hlm, 130.
[25] Hamka, Natsir, Muzakkir, Anshary, Singodimedjo, Debat Dasar Negara Islam dan Pancasila Konstituante 1957: Urat Tungang Pancasila, 155. Dikutip Akmal R. Gunawan dalam, “Peran Tafsir Al-Azhar Terhadap Radikalisasi Pancasila”.
[26] Hamka, Natsir, Muzakkir, Anshary, Singodimedjo, Debat Dasar Negara Islam dan Pancasila Konstituante 1957: Urat Tungang Pancasila, 156. Dikutip Akmal R. Gunawan dalam, “Peran Tafsir Al-Azhar Terhadap Radikalisasi Pancasila”.
[27] Hamka, dalam Rusjdi. 1984. Islam: Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial: Jakarta: PT Pustaka Panjimas. Hlm, 210-211. Dikutip Akmal R. Gunawan dalam, “Peran Tafsir Al-Azhar Terhadap Radikalisasi Pancasila”.
[28] Akmal R. Gunawan dalam, “Peran Tafsir Al-Azhar Terhadap Radikalisasi Pancasila”. Hlm, 121.
[29] Artawijaya. 2014. Belajar dari Partai Masjumi: Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Hlm, 89.
[30] Hamka. 1951. Urat Tunggang Pantjasila. Djakarta: Pustaka Keluarga. Hlm, 14-15.
[31] Akmal R. Gunawan dalam, “Peran Tafsir Al-Azhar Terhadap Radikalisasi Pancasila”. Hlm, 124.
[32] Ibid. Hlm, 124.