Talang Plastik

Oleh : Sirajuddin Bariqi

Sekira akhir tahun lalu, saya diminta untuk menjadi pemateri dalam sebuah forum pelatihan di Kabupaten Kulon Progo. Oleh panitia kegiatan, saya dijadwalkan mengisi materi pada jam sepuluh malam. Karena sedikit-banyak saya tahu kondisi kepanitiaan, saya urung memprotes waktu dan tempat yang bagi saya cukup ekstrem.

Waktu tempuh yang lumayan dan tempat yang hanya bisa saya ketahui lewat google maps itu membuat saya berangkat sedini mungkin. Untungnya, saya tidak berangkat pergi-pulang sendiri. Ada seorang teman yang juga diminta menjadi pemateri di kegiatan yang sama.

Singkat cerita, kami tiba di lokasi. Kemudian secara bergantian menyampaikan materi di hadapan enam atau tujuh peserta (saja). Jumlah yang hanya sebentar saja membuat saya kaget, mengingat saya sudah sering berhadapan dengan situasi semacam itu.

Ketika giliran saya tiba, bagai terkena sirep, satu persatu peserta terserang kantuk. Tapi dengan mata berdaya nyala lima watt itu, masih telihat jelas raut muka penuh ambisi mereka untuk mendapatkan secuil ilmu. Terbukti forum berjalan dengan cukup aktif. Hampir semua peserta bertanya dan memberikan tanggapan. (Ya, hampir semua. Dari total enam peserta).

Sungguh, saya kagum dengan perjuangan mereka. Semangat yang tak goyah, meski di tengah keterbatasan.

Penyesalan

Setelah menyampaikan materi –yang ternyata berakhir pada pukul dua belas lewat lima belas menit tengah malam–, kami segera pamit untuk pulang. Panitia mengucapkan terima kasih sembari memberikan bingkisan. Mengingat waktu yang sudah larut, sedikit pun tidak terpikirkan bagi saya untuk melihat isi bingkisan tersebut.

Kelalaian tersebut berbuntut penyesalan. Sesampainya di sekretariat tempat di mana sesekali saya melepas penat, saya dikagetkan dengan amplop berisi sejumlah uang. Amplop berwarna putih itu diselipkan di samping roti yang juga berwadah putih, yang membuat kehadirannya samar diketahui.

Merasa tidak memiliki hak atas uang tersebut, dengan nada protes, saya menghubungi panitia yang bersangkutan. Dalam pikiran saya, bagaimana pun uang ini harus dikembalikan. Entah dengan bertemu langsung atau ditransfer. Sama sekali tidak terbayang bahwa saya akan menerima uang dari ikatan yang telah menemani perjalanan saya selama ini.

Sayang, pihak panitia tidak memperkenankan saya mengembalikan uang tersebut. Bagai bayi yang terlanjur dewasa, tidak mungkin memaksakan uang tersebut untuk dikembalikan. Sebuah ketidakmungkinan yang berangkat dari pertimbangan perasaan.

Dengan sangat terpaksa, akhirnya uang tersebut saya gunakan untuk menyambung hidup. Pilihan sikap yang untuk kedua kalinya membuat saya menyesal.

Sikap yang Semestinya

Sejujurnya, saya tidak lagi menghiraukan kejadian tersebut. Apalagi beberapa teman menyampaikan kalau dengan menerima uang tersebut, tidak berarti saya sedang mencari hidup di persyarikatan.

Tapi sekira seminggu yang lalu, saya mendapati bahwa apa yang saya lakukan ternyata kurang tepat, –meskipun bukan berarti tidak diperkenankan mengingat situasi pada saat itu. Penyesalan kedua kalinya itu datang ketika saya membaca karya Haidar Musyafa, Pak A.R. & Jejak-Jejak Bijaknya.

Sosok kelahiran Yogyakarta, 14 Februari 1916 itu dengan telak menghentak kesadaran saya. Membuat saya benar-benar merasa malu.

Bagaimana tidak, Pak AR, yang pernah diberi amanah untuk memimpin Muhammadiyah selama dua puluh dua tahun itu hampir tidak pernah mengambil jatah persyarikatan untuk kepentingannya sendiri. Sementara saya yang bukan siapa-siapa, malah ‘mengambil’ jatah itu.

Pak AR misalnya pernah menolak tawaran pengurus Muhammadiyah Cepu yang berniat mengantarkan beliau ke Surabaya selepas mengisi pengajian di sana. Karena kepergiannya ke Surabaya adalah urusan pribadi, Pak AR dengan tegas menjawab, “Saya akan dosa jika menggunakan fasilitas persyarikatan untuk urusan pribadi…”

Meski pengurus tersebut menjelaskan bahwa mobil yang akan dibuat mengantar bukan fasilitas persyarikatan, melainkan inisiatif pengurus secara mandiri, Pak AR dengan halus tetap menolak tawaran tersebut.

Sikap Pak AR membuat saya merinding kagum. Beliau dengan tegas membedakan antara fasilitas milik pribadi dan fasilitas yang diberikan dalam kapasitasnya sebagai ketua umum. Tidak menoleransi barang sekecil apapun.

Dalam penuturan Sukriyanto AR, ketika Pak AR diberi honor dalam kapasitasnya sebagai ketua umum, beliau menerima uang tersebut, tetapi sama sekali tidak menggunakannya untuk kepentingannya sendiri. Uang tersebut segera dimasukkan kas PP Muhammadiyah, atau dialihkan untuk pengembangan pimpinan Muhammadiyah di tingkat bawah.

Pada kesempatan yang lain, Pak AR membawa uang yang tidak sedikit sepulangnya dari Jakarta. Pak AR meminta tolong kepada dua anaknya untuk memasukkan uang ke dalam amplop yang sudah diberi nama.

Ketika uang habis tak tersisa, Fauzi, salah satu anak Pak AR, bertanya berapa bagian yang didapat bapaknya, mengingat uang yang terkumpul sangat banyak. Dengan senyum khasnya, Pak AR menjawab bahwa beliau tidak mendapat bagian sepeser pun.

Dengan sedikit kecewa, Fauzi menyebut bapaknya sebagai talang yang tidak basah (perantara yang tidak mendapat bagian). Mendengar hal tersebut, dengan santai Pak AR. menimpali, “Ya ben, wong talang plastik, kok”. Ya, benar saja, talang plastik selalu hanya menjadi perantara aliran air, tanpa sedikit pun menyerapnya.

Membaca kisah-kisah tersebut, saya segera menyesali kenapa uang yang terpaksa saya terima dari acara tersebut tidak saya alihkan untuk kepentingan ikatan, dan malah memakainya untuk kepentingan pribadi.

Meski begitu, dengan segala keterbatasan, saya tidak berani menjamin bahwa saya dapat menjadi talang plastik layaknya Pak AR. Jujur saja, beliau berada di level yang jauh berbeda.

Sumber : https://masa-kini.id/talang-plastik/

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

12 − 1 =