Bacaan Alternatif Tentang Riwayat Hidup Pendiri Tamansiswa

Judul buku           : SANG GURU-Novel Biografi Ki Hajar Dewantara, Kehidupan, Pemikiran

dan Perjuangan Pendiri Taman Siswa (1889-1959)

Penulis                  : Haidar Musyafa

Pengantar            : Anies Baswedan, Ph.D. (Mentri Pendidikan dan Kebudayaan) dan

Sri-Edi Suwarno (Guru Besar UI, Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa,

Ketua   Dewan Penyantun ISI Surakarta

Penerbit                 : Imania

Tebal                      : 420 halaman

Cetakan                 : November 2015

Ketika melihat buku ini di toko buku, saya langsung teringat tentang materi pelajaran sejarah zaman SD tentang filosofi kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara dan artikel tenatang perekembangan fase anak sesuai usianya yang saya baca satu tahun yang lalu. Filosofi kepemimpinan beliau berbunyi “Ing Ngarso Sung Tulodho-seorang pemimpin harus mampu memberikan contoh yang baik kepada bawahannya”, “Ing Madyo Mangunkarso-seorang pemimpin harus dapat bekerja sama dengan seluruh bawahannya, agar seluruh pekerjaan organisasi akan terasa mudah dan ringan” dan “Tut Wuri Handayani-seorang pemimpin  itu harus memberi kesempatan kepada bawahanya untuk maju dan berkembang” yang tercantum juga pada buku ini. Lalu tentang fase perkembangan anak sesuai usianya yang diakui psikologi modern yaitu anak usia 0-8 th adalah masa Wirogo, usia  9-16 th adalah masa Wirogo Wiromo dan usia 17-24 th adalah Wiromo.

Buku dengan judul Sang Guru ini  merupakan hasil penelitian Haidar Musyafa tentang riwayat hidup Ki Hadjar Dewantara (selanjutnya ditulis KHD) yang disajikan dalam bentuk novel. Dalam novel ini, pembaca di ajak merasakan langsung sebagai tokoh utama yaitu KHD. Karena penulis disini mengambil sudut pandang orang pertama.

Judul dari novel ini sangat mathuk sekali dengan sosok KHD. KHD merupakan sosok guru sekaligus pemimpin yang mempunyai daya among. Among juga dipakai menjadi sebuah metode pengajaran yang diterapkan di Tamansiswa. Metode Among merupakan sebuah metode pengajaran, dimana guru atau pamong dalam melaksanakan tugasnya mengajar dan mendidik pamong juga berkewajiban untuk memberikan sokongan dan tuntunan pada anak-anak, agar mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan berdasarkan pada kekuatan dan keyakinan diri sendiri.

Novel ini mengisahkan perjalanan dan kiprah perjuangan KHD. Mulai dari lahir hingga meninggal dunia.  Di novel ini juga menceritakan alasan KHD mengubah namanya dari Raden Mas Soewardi Soerjaningrat  menjadi Ki Hadjar Dwantara.

KHD merupakan anak ke lima dari sembilan bersaudara. Ayah dan ibu KHD merupakan keteurunan dari Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Harjo Surjo Soesroningrat (Sri Paduka Paku Alam III) yaitu Kanjeng Pangeran Harjo Soerjaningrat dan Raden Ayu Sandijah. Tapi, keluaraga KHD tidak tinggal di dalam Istana Puro Pakualaman. Keluarga KHD tinggal di salah satu Puri Puro Pakualaman. Hal itu tak lain karena kedua orangtua KHD merupakan kerabat  istana Puro Pakualaman  yang sangat menentang Belanda karena selalu ikut campur mengurusi pemerintahan di istana Kadipaten Puropakualaman.

Perjalanan pendidikan KHD dimulai dari lingkungan keluaraganya. Dalam lingkungan keluaraganya, KHD sudah dibiasakan belajar pendidikan agama dan kesenian jawa. KHD juga suka menghabiskan waktu untuk membaca di perpustakaan milik ayahnya. Salah satu buku kesukaannya adalah Serat Sastra Gendhing yang sudah digubah oleh ayah dan pamannya. Serat tersebut ditulis oleh Sulatan Agung Hanyokrokusumo yang berisi tentang ajaran islam.

KHD pernah belajar ilmu agama di Pondok Pesantern Kyai Haji Soleman Abdurrohman, Kalasan, Prambanan. Setalah dianggap cukup belajar ilmu agama, ayah KHD menyekolahkannya di Europeesche Lagere School (ELS), Bintaran.

Sebelum KHD menerima beasiswa dari Governemen Hindia Belanda untuk bersekolah di School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA), KHD pernah merasakan bersekolah di Kweekschool, Kmapung Jetis. Kweekschool merupakan sekolah yang khusus menyiapkan murid-muridnya untuk menjadi guru. Sedangkan STOVIA merupakan sekolah kedokteran milik Governemen Hindia Belanda yang berada di kawasan Welevreden, Batavia.

Di STOVIA, KHD bertemu dengan bertemu dengan Tjipto Mangoenkoesumo, Soetomo, Goenawan Mangoenkoesomo, Dowes Dekker, dan orang-orang heabat lainnya melalui oragnisasi Boedi Oetomo. Dari oragnisasi itu lah KHD mulai turun kemedan perjuangan seperti yang dilakukan salah satu kakaknya yaitu Kangmas Soerjapranoto. Dengan impian meningkatkan pendidikan bagi warga Inlander se-Nusantara.

Di organisasi Bodi Oetomo KHD menjabat sebagai Propaganda. Tapi Perjalanan KHD di STOVIA tak segemilang di organisasi. Pada tahun keemapat, KHD tidak naik kelas. Padahal KHD sangat yakin akan mendapatkan nilai ujian yang bagus seperti tahun-tahun seblumnya. Karena tidak naik kelas menyebabkan beasiswa dari Governemen Hindia Belanda dicabut dan KHD tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Karena himpitan ekonomi keluarga dan keputusannya, KHD tidak mengulang sekolah di STOVIA.

Berkat semangat dari Dowes Dekker, Tjipto Mangoenkoesumo dan teman-teman yang lain, KHD dapat bangkit dari keterpurukan. Dan mulai berjuang lagi dengan bergabung dengan Sarekat Islam yang dipimpin oleh Raden Mas Oemar Said Tjokroaminoto. Dan mulai aktif menulis dengan bimbingan Kangmas Soerjapranoto dan Dowes Dekker yang saat itu masih menjabat sebgai Redaktur pelaksana di Harian Bataviaasch Nieuwsblad. Gagasan-gagasan dan ide KHD mulai dikirm dan dimuat di Harian Bataviaasch Nieuwsblad, De Locomotief dan Suarabiaasch Nieuwsblad.

Sepemberhentian Dowes Dekker di Harian Bataviaasch Nieuwsblad secara paksa oleh Governemen Hindia Belanda. Dowes Dekker menerbitkan Majalah Het Tijdschrift dan Surat Kabar Harian De Expres. Dengan bergabung bersama Dowes Dekker, KHD dapat menyalurkan tulisannya secara intensif.

Pada tanggal 25 Desember 1912, KHD bersama Dowes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesumo mendirikan organisasi politik yang bernama National Indische Partij (NIP). Dan dari organisasi politik itu mereka bertiga dikenal dengan nama Tiga Serangkai. Dan menjadikan Majalah Het Tijdschrift dan Surat Kabar Harian De Expres sebagi corong perjuangan.

Pada saat KHD aktif di organisasi NIP dan aktif menulis di Surat Kabar Harian De Expres. Tulisan KHD yang berjudul “Seandainya Aku Seorang Belanda (Als Ik Eens Nederlander Was)” dan beberapa tulisan lain, menyebabkan Governemen Hindia Belanda geram dan menjatuhkan hukuman tahanan kepada KHD, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Dowes Dekker yang saat itu menulis tenatang ketakutan Governemen Hindia Belanda akan tulisan KHD.

Sebelum kejadian penahanan ini, KHD sudah merencanakan pernikahannya dengan Raden Ayu Soetartinah (anak dari Paman KHD). Walupun KHD ditahan di Batavia, pernikahan itu tetap dilaksanakan sesuai rencana.  Karena berkat kakaknya, KHD mendapat izin dari Governemen Hindia Belanda untuk melangsungkan pernikahan di Yogyakarta.

Pada saat KHD diasingkan ke Negeri Belnda, KHD pernah menjabat sebagai Redaktur Pelaksana di Majalah Hindia Poetra. Dan juga banyak membantu penerbitan Majalah De Indier, Majalah Utusan Hindia dan Majalah Het Indonesische Verbond Van Studeerenden. Selain banyak mendapat ilmu jurnalistik. KHD juga banyak mendapat ilmu tentang sistem pendidikan dan sosial-politik.

Setelah selesai melaksanakan hukuman pengasingan di Negeri Belanda. KHD kembali ke tanah air.  KHD mulai aktif kembali di NIP dan mulai aktif mengirim tuliasan di Harian De Expres, Majalah De Beweging (majalah terbaru garapan Dowes Dekker), di Majalah Panggugah yang diterbitkan dengan menggunakan bahasa jawa dan Majalah Persatuan Hindia.

Kiprah perjuangan dalam bidang pendidikan KHD dimulai dengan membantu Kang Mas Soerjopranoto mendirikan sekolah Adhi Darmo. Setelah meninggalkan dunia politik, KHD memutuskan untuk fokus berjuang di dunia pendidikan dengan  memulai sebagai tenaga pengajar di sekolah Adhi Darmo.

Setelah menjadi pengajar di sekolah tersebeut, semangat perjuangan KHD di dunia pendidikan semakin besar. Dan sampai pada akhrinya KHD mendirikan sekolah yang bernama Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa dengan sistem pendidikan yang KHD rancang berdasarkan dari pengalamannya.

Dengan berdirinya Tamansiswa KHD berharap agar anak-anak inlander bisa mengenyam pedndidikan. Bagi KHD Pendidikan adalah jalan menuju kemerdekaan lahir dan batin.

Pada pertengahan Maret 1959 KHD sudah sering sakit-sakitan. Pada masa itu KHD menulis sebuah brosur yang berjudul “Demokrasi dan Kepemimpiana”. Brosur itu berisi pandangan KHD tentang demokrasi dan kepimpinan.

 

Sebelum tutup usia KHD mempunyai cita-cita yang disampaikan kepada istrinya yaitu keinginannya memiliki perguruan tinggi. (*)

 

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

17 − fifteen =