“Bismillah Ar-Rahman Ar-Rahim
Sluman sluman slamet
Slamet kersaning Allah
Sengkola-sengkolo podo nyingkir
Jatu kramaku cepakno
Laa ilaha illallah teguh rahayu
rahayu…”
-ooOoo-
Tak terbayangkan dalam pikiran saya, bagaimana peradaban Islam dimulai di tanah Nusantara yang sangat kaya raya ini. Bukan saja karena luas wilayahnya jauh melampaui Jazirah Arab, atau karena daratannya terpisah satu sama lain, terhalang oleh lautan dan samudera. Tetapi bangsa Nusantara ketika zaman pra-Islam sudah memeluk sebuah keyakinannya sendiri, sangat berbeda dengan kayakinan dalam agama Islam. Terlebih ratusan tahun mereka meyakini sebagai dewa dan penguasa alam lainnya (dinamisme). Masa awal penyebaran ajaran Islam, tentu sangat berat dan bukan hal gampang yang hanya membutuhkan waktu satu atau dua tahun. Nusantara kini, mayoritas merupakan Muslim, adalah buah manis dari penyebaran dengan pendekatan budaya, dakwah bil hikmah, tanpa kekerasan, dan dilakukan dalam kurun waktu hampir sama dengan usia agama Islam itu sendiri.
Alas Jogopati, berupa alas, hutan belantara. Letaknya di sebelah utara Sungai Bengawan Solo, merupakan daerah yang didiami oleh jin dan makhluk gaib lainnya. Sedang masyarakat di sekitarnya memiliki kepercayaan kepada dewa-dewa dan kekuatan gaib yang sangat kuat. Tugas berat diemban oleh Bagus Turmudi atau dikenal dengan Kiai Abdul Jalal I, sesuai amanat dari gurunya, membuka alas tersebut, membuat pemukiman baru, membentuk tatanan masyarakat yang sesuai dengan syariat, dan mengajarkan penduduk sekitar Jogopaten tentang ajaran Islam yang murni. Jogopaten, berasal dari kata jogo-jogo pati, berjaga terhadap kematian, bermakna tempat ini sangatlah berbahaya, dari penduduk asli maupun dari bangsa jin yang ganas. Hampir tak ada seorang pun yang berani babad alas, membuka hutan belantara untuk dijadikan tempat bermukim di daerah Jogopaten ini. Banyak orang yang mencoba menyusuri bantaran Bengawan Solo, menuju Jogopaten, pada akhirnya tidak bisa kembali lagi.
Buku hasil tulisan dari E. Rukajat Asura ini, menggunakan bahasa yang sangat ringan, (tentu saja, karena buku ini merupakan novel, bukan buku teks sejarah yang bagi orang awam membutuhkan konsentrasi tinggi) sehingga kita bisa menikmati membaca sejarah tanpa mengerutkan kening. Sejarah tentang perjalanan Kiai Abdul Jalal I menyebarkan ajaran agama Islam, menebar benih kebaikan berupa akhlakul karimah diceritakan di sini mulai dari masa kecil Kiai Abdul Jalal I, dengan nama asli bagus Turmudi, belajar di pondok pesantren, menikah, dan akhirnya mendapatkan amanah untuk pergi ke sebuah tempat dengan satu tujuan babad alas, menyebarkan syariat Islam.
Dalam buku “Kiai Abdul Jala I” ini dikisahkan pula bagaimana pendahulu penyebar Islam merubah keyakinan penduduk asli dengan jalan damai tanpa sama sekali menumpahkan peperangan atau konflik yang berarti. Beliau-beliau adalah ulama yang benar-benar paham tentang ajaran Islam, sehingga cara yang ditempuhnya pun tidak kaku.
Hal yang paling menarik adalah tembang “Lir Ilir”, sebuah tembang karya Sunan Kalijaga, yang disenandungkan oleh anak-anak kecil. Memang “Lir Ilir” merupakan –dalam bahasa sekarang disebut– lagu anak-anak. Tetapi di balik keriangan tembang, terdapat makna yang sangat dalam tentang ajaran Islam, bahkan begitu terasa maknanya sampai sekarang.
Lagu “Lir-ilir” sendiri merupakan terjemahan bebas dari Alquran surat Al-Mudatstsir ayat 1 – 4. Surat ini merupakan wahyu kedua setelah surat Al-‘Alaq yang diturunkan di Gua Hira. Kurang lebih tafsiran lagu tersebut seperti ini:
(lir-ilir lir-ilir) Bangkitlah, bangun dari kemalasan, bangun dari tidur panjang. Makna ini selaras dengan pesan di dalam surat Al Mudatstsir di awal ayat.
(tandhuré wis sumilir) Benihnya telah bersemi, keimanan yang ditanam para Wali itu telah tumbuh bersemi
(tak ijo royo-royo) Tampak hijau segar, ijo, hijau melambangkan warna lambang Islam yang selalu membuat ummat manusia segar, damai, tenteram
(tak senggo temanten anyar) Bagai pengantin baru, seperti sepasang manusia baru yang dirubung dengan kekaguman akan kecantikan dan ketampanan atau kemurnian Islam yang memesona, yang bercahaya
(bocah angon, bocah angon) Wahai para gembala, setiap dari kita adalah bocah angon, menggembala diri sendiri agar tetap berada dalam keimanan yang kokoh, berjalan pada jalan yang lurus, seperti sabda Nabi SAW, kulluukum raa’in
(pénékno blimbing kuwi) Panjat, ambillah belimbing itu, belimbing yang memiliki sisi lima dilambangkan sebagai agama Islam yang memiliki lima rukun. Memanjat di sini menyuruh agar kita memeluk erat ajaran Islam
(lunyu-lunyu pénékno) Sekalipun licin, tetap panjatlah, akan selalu datang ujian, kesusahan, tetap pelajari dan laksanakan ajarannya
(kanggo mbasuh dhodhot iro) Untuk mencuci pakaian kalian, untuk membersihkan akhlak kita semua agar tetap terjaga dan selalu memiliki hati dan pikiran suci
(dhodhot iro, dhodhot iro) Pakaian kalian, pakaian kalian, sekali lagi menekankan kepada pakaian, akhlak mulia yang harus kita miliki
(kumitir bedah ing pinggir) Terburai sobek di pinggirnya, masih terselip kekurangan untuk menutupi aurat dan menghiasi jasad manusianya
(dondomono jlumatono) Maka jahit dan sulamlah, maka tambal, tutup dengan ibadah-ibadah sunah, hiasilah dengan akhlak mulia
(kanggo seba mengko soré) Untuk (kau pakai) menghadap nanti sore, untuk bersiap sebagai pakaian yang digunakan salat Maghrib, atau diterjemahkan juga sebagai bekal kelak ketika kita menghadap Allah Azza wa Jalla saat usia senja
(mumpung padhang rembulané) Selagi benderang cahaya rembulan, selagi cahaya Islam masih menyinari kalbu, selagi cahaya Islam masih menyinari semesta
(mumpung jembar kalangané) Selagi masih terbuka lebar kesempatannya, mumpung masih berada di alam dunia, masih hidup sebelum mati, mumpung masih kaya sebelum miskin, mumpung masih lapang sebelum sempit
(yo surako surak hiyo!) Mari bersorak, sorak ayo!, selalu merayakan, bersyukur ketika ikhtiar telah kita lakukan sebaik-baiknya, tinggal bertawakal