Perjalanan Hidup Suluh Penerang Umat

Siapa yang tak kenal Buya Hamka. Hingga sekarang, namanya masih lestari meskipun sudah bertahun-tahun meninggalkan kita. Lahir 17 Februai 1908 di Maninjau, sosok yang penuh wibawa ini istiqamah memperjuangkan NKRI khususnya persatuan umat muslim Indonesia sampai akhirnya waktunya tiba menuju pangkuan ilahi pada 24 Juli 1981 bertepatan di bulan puasa Ramadhan setelah terbaring lama di rumah sakit karena komplikasi.

Sebuah pohon, bila semakin tinggi maka semakin kencang angin yang menerpa, kalimat yang sangat pantas untuk mewakili kisah perjalanan hidup sang suluh penerang umat ini. Pahit serta getir kehidupan menempa Buya Hamka menjadi pribadi yang karismatik, penuh hikmah, damai dan berpandangan luas.

Sinopsis

Lelaki itu bernama Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah, sebutan HAMKA adalah nama yang sengaja ia jadikan identitas di setiap karya tulis yang ia buat.

Buya Hamka sewaktu kecil adalah seorang anak yang kerap membangkang. Beliau berkali-kali menolak bujukan dan perintah ayahnya untuk sekolah. Bukan tanpa alasan, Buya Hamka lebih betah berlama-lama di perpustakaan kecil dekat rumahnya, membaca semua buku-buku yang ada di sana. Baginya, belajar di kelas membuat ia cepat bosan, monoton dan tidak banyak memuaskan hasratnya yang selalu ingin mengejar ilmu secara langsung dari pengalaman dan pengamalan kehidupan.

Amarah dari sang ayah, Haji Abdul Karim, adalah langganan dan makanannya sehari-hari. Segala bentuk emosi pernah ditumpahkan ke Buya Hamka kecil. Bentakan, pukulan, kurungan, atau apa pun, tetap tak dapat meluluhkan kerasnya keinginan dan tekad Buya Hamka untuk terus mencicip ilmu kepada alam.

Buya Hamka pernah dicemooh oleh warga kampungnya sendiri lantaran tak punya ijazah dan tak tamat sekolah. Pernah dicibir sebagai pemuda yang hanya pandai berkoar di balik podium tanpa memiliki kedalaman ilmu. Ditambah lagi ejekan itu juga datang dari ayah kandung Buya sendiri.

Beberapa kali Buya Hamka kabur dari rumahnya tanpa sepengetahuan orang tua. Dengan hati yang terlampau sakit karena kerasnya perlakuan ayahnya, Buya Hamka berhasil mejejakkan kaki ke tanah suci untuk menimba ilmu. Baru pada akhirnya, sepulang dari Mekkah, pandangan dan sikapnya kepada sang ayah mulai berubah. Hamka taubat dan menyesali segala perbuatannya yang selama ini menyusahkan ayahnya serta membuatnya cemas.

Lahir dari keluarga ulama dan keturunan mubaligh, Buya Hamka mendapat dorongan dan inspirasi untuk berdakwah dengan merangkai tulisan. Ketekunannya membuahkan hasil, lambat laun, semakin lama kualitas menulisnya semakin matang. Banyak orang menikmati dan tersentuh karena tulisan-tulisan itu. Namanya semakin dikenal luas, apalagi setelah sukses dengan sebuah penerbitan majalah yang ia asuh bersama teman-temannya di Medan.

Di usia belia, Buya Hamka sudah aktif dalam organisasi Muhammadiyah. Keinginan hatinya untuk menegakkan ajaran Islam sesuai Al-Quran dan Hadits serta meluruskan penyimpangan maupun membersihkan generasi Indonesia dari paham komunis membuat ia menjadi salah satu kader terbaik dalam keanggotaan Muhammadiyah. Dari Muhammadiyah ini lah mulanya, Buya Hamka mulai bertemu tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan. Pertemuannya dengan Soekarno di Bengkulu adalah tonggak inspirasi untuk terus berjuang melawan penindasan para penjajah.

Suaranya yang lantang menentang keras untuk melawan komunis di kursi parlemen mengakibatkan satu per satu tokoh-tokoh pendiri negeri yang semula adalah kawan berubah menjadi lawan. Tak terkecuali seorang teman lama yang sudah ia anggap seperti saudara kandung: Soekarno. Memang sulit dipungkiri, pengaruh komunis sudah menancapkan kukunya di Indonesia, banyak mendapat dukungan dari pribumi, ditambah lagi angin segar dari kebijakan Presiden yang bertajuk NASAKOM. Komunis kian berada di ambang batas. Hasilnya, setiap orang yang terdeteksi mengancam otoritas pemerintahan akan dijebloskan ke sel tahanan. Salah satu orang itu adalah Buya Hamka, bertahun-tahun dikurung tanpa proses pengadilan yang jelas.

Buya Hamka melepaskan dunia politik dari kehidupannya setelah melihat keadaan yang kian memanas. Segala energi dan semangatnya kini tercurahkan sepenuhnya ke dakwah Islam. Seiring umur yang bertambah, tubuh dan sosok Buya Hamka kian rentan. Hal itu semakin parah semenjak kepergian istri tercinta. Seluruh usaha terbaik telah diberikan keluarga, doa-doa tanpa putus dari kerabat dan teman-temannya, namun hal itu tetap tidak bisa mencegah takdir Allah. Berbulan-bulan ditimpa penyakit, Buya Hamka pergi meninggalkan segala kebaikan yang ia titipkan kepada kita, generasi Indonesia.

Keunggulan Buku

Sebuah fakta yang disajikan sedemikian rupa ke dalam bentuk novel adalah poin utama yang menciptakan suasana yang meriah ketika membaca buku ini. Hal ini membuat kita lupa akan seberapa tebal dan berat buku ini. Penyampaiannya juga bersih tanpa banyak istilah dan bahasa-bahasa asing. Kesalahan tik atau typo juga sangat minim. Setiap bab akan mengalir lancar, bersamaan dengan bacaan-bacaan yang tanpa disadari sudah hendak sampai ke bagian penghabisan.

Kelemahan Buku

Halaman sampul yang terbuat dari kertas tipis menjadikannya mudah terlipat atau mengelupas di bagian tepian kertasnya. Selain itu, kesalahan yang terasa amat disayangkan padahal semestinya bisa diminimalisir adalah pudarnya teks pada halaman-halaman tertentu, sehingga sulit untuk dibaca. Juga ditemukan pada beberapa halaman terdapat tulisan yang berbayang.

Kesimpulan

Bagi Anda yang merasa bosan dengan pelajaran sejarah di kelas dan ingin merasakan suasana yang baru, memilih untuk membaca buku ini adalah pilihan yang tepat. Dikemas dengan deskriptif dan imajinatif. Buku Buya Hamka, Sebuah Novel Biografi sudah sewajibnya dibaca generasi penerus bangsa yang ingin mengenal sisi terbaik dari para pejuang kemerdekaan.

Penulis:  Aan Assumbaary Tanjung

Sumber: https://penakata.com/perjalanan-hidup-suluh-penerang-umat/

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

18 − nine =