Merenungkan Definisi Tuhan

Wajah Tuhan selalu diidentikkan dengan sebuah agama, ajaran, bahkan dogma yang bersifat mutlak. Tak bisa diganggu gugat. Sifat- sifat ini tak ayal tercermin dalam langkah laku setiap kelompok manusia.

Banyak yang mengklaim Tuhan dengan berbagai definisi. Manusia, beberapa di antara sok pintar menyekat- nyekat sifat Tuhan. Sehingga wajah Tuhan yang muncul tak lagi mesra di depan makluknya. Padahal tidaklah demikian.

Lewat pemikiran dan dialog anak kecil dalam buku ‘Tuhan Maha Asyik’ tulisan Sujiwo Tejo ini, pembaca memperbarui wajah Tuhan; Yang Maha Asyik dan Maha Mesra terhadap makhluknya.

Sujiwo Tejo mengenalkan kembali wajah Tuhan melalui beragam tema kecil dalam buku ini. Di antaranya wayang, marhaen, cacing, zat, gincu, antareja, nyawa, ketombe, komat kamit, tersesat, diri (1), diri (2), diri (3), diri (4), sombong, dan lain sebagainya.

Semua tema- tema ini diceritakan melalui dialog sekelompok anak, Buchori, Dharma, Samin, Pangestu, Christine, Parwati, serta Kapiyatan. Mereka berceloteh laksana seorang anak yang memiliki penasaran tinggi tentang berbagai hal. Tak jarang, pertanyaan polos mereka memiliki makna tinggi, yang sama sekali jarang dibicarakan orang dewasa.

Seperti saat Samin tengah bermimpi di sebuah negeri yang antah berantah dan sangat indah. Samin terlena sebab ia pikir ia di Bali. Anak tukang kayu ini bisa menikmati dan mengerti berbagai bahasa yang ia dengar.

Buchori sebagai pendengar Samin ikut nimbrung, ia mengalami mimpi yang persis dengan Samin. Hanya bedanya, ia sama sekali tak mengerti bahasa dalam mimpinya. Buchori merasa tersesat dan tanpa arah. Sebelum akhirnya Christine menimpali mimpi Buchori bahwa bahasa tak ubahnya ritme musik yang harus selalu dipahami. “Apakah orang yang tersesat selalu memerlukan pengertian dari suatu bahasa? Tak cukup dari nada dan ritme suatu bahasa, tak cukup dari musik yang tersembunyi dari suatu bahasa?” tanya Christine.

Terlihat sedikit tak masuk akal memang, sekelompok anak SD menanyakan pertanyaan yang melibatkan perenungan seperti Christine. Biasanya anak SD menanyakan hal- hal yang bersifat partikular, seperti benda- benda konkret apa dan mengapa serta bagaimana suatu fenomena alam atau sosial itu terjadi.

Akan tetapi Sujiwo Tejo bersama DR MN Kamba tak memusingkan hal itu. Untuk memberi benang merah pertanyaan- pertanyaan perenungan macam sekelompok anak SD, ia memaparkan sub tema yang disambungkan dengan wajah Tuhan dalam fenomena yang Christine dan Buchori bicarakan.

Tuhan mengharapkan manusia menelusuri jejak penciptaan-Nya. Tuhan mengharapkan manusia menyadari betapa Tuhan mencipta setiap saat. Padahal Tuhan tak hanya menciptakan hal mainstream yang telah diketahui manusia.

Problem utama mainstream, asumsinya yang menafikan kemungkinan lain di luar dari yang lazim. Oleh karena itu, amat gampang menilai hal- hal di luar mainstream sebagai sebuah kesesatan. Justru kesesatan inilah kotak- kotak sendiri dari manusia.

Mengingat Tuhan kembali kepada kesejatian diri. Tuhan terasa begitu dekat dan mesra dengan manusia. Semakin dekat kepada Tuhan, manusia semakin mengenal pula sifat dan wajah kebaikan dan kesempurnaan-Nya.

Reportase : Ramadani W
Editor : Devy Lubis
Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 + 8 =