Dewi Sartika: Perintis Pendidikan bagi Perempuan dari Pasundan

Oleh: Ridwan Nurochman

Dalam survei yang pernah dilakukan harian Kompas (10/12/2010), Dewi Sartika pernah menjadi pahlawan terpopuler di Jawa Barat. Hasil survei ini pula yang menobatkannya sebagai tokoh panutan Jawa Barat. Predikat ini tentu tak lepas dari kiprahnya sebagai perintis pendidikan bagi perempuan Pasundan di masanya.

Tapi, apakah semua orang sekarang mengenal sosok Dewi Sartika? Melalui novel Raden Dewi Sartika karya E. Rokayat Asura kita akan mengenal dan menyelami sejarah hidup serta perjuangan beliau dalam merintis pendidikan bagi perempuan Pasundan.

Dewi Sartika lahir di Bandung pada 4 Desember 1884. Ayahnya, Raden Somanagara, adalah seorang Patih Bandung. Sementara ibunya, Raden Ayu Rajapermas, adalah seorang putri Bupati Bandung saat itu, R.A.A. Wiranatakusumah IV. Saat masih kecil Dewi Sartika biasa dipanggil dengan sebutan Enden Uwi. Ia adalah priayi di kalangan Sunda.

Meski Dewi Sartika seorang perempuan, namun Raden Somanagara tetap menyekolahkan putrinya tersebut, sebagaimana ia menyekolahkan anak-anaknya yang lain. Somanagara memang tergolong priayi yang maju dalam urusan pendidikan pada saat itu. Sebab, saat itu tak pernah ada yang menyekolahkan anak perempuan. Meski akhirnya, Dewi Sartika hanya menempuh pendidikan sampai kelas satu. Sebab, pada 22 Juli 1893 Raden Somanagara dibuang ke Ternate oleh pemerintah kolonial Belanda.

Sejak peristiwa itu, Dewi Sartika kemudian dititipkan ke pamannya dari pihak ibu, seorang Patih Cicalengka bernama Raden Demang Adiningrat. Dewi Sartika disambut dingin dan diperlakukan berbeda di rumah itu. Di sana, ia harus rela menempati kamar belakang sebagaimana pelayan. Ia juga diharuskan membantu pekerjaan rumah tangga. Hukuman buang yang dialami ayahnya adalah aib bagi golongannya.

Di kediamaan pamannya, dalam situasi dan keadaan yang serba terbatas Dewi Sartika tetap memiliki semangat tinggi untuk belajar. Budaya dan adat istiadat Sunda ia pelajari lebih mendalam dari Agan Eni. Di belakang Gedung Kepatihan Cicalengka, Dewi Sartika memulai petualangannya. Ketika usianya belum genap sepuluh tahun ia sudah mengajari teman sepermainannya membaca dan menulis. Seiring bertambahnya usia, berubah pula cara pandang Dewi Sartika terhadap kehidupan di sekelilingnya. Baik dari obrolan dengan Agan Eni maupun dari hasil pengamatannya sendiri. Ia disadarkan betapa kaum perempuan tidak memiliki kesempatan sebaik kaum laki-laki. Dewi Sartika sendiri melihat bagaimana saudara-saudara sepupunya yang perempuan, tidak disekolahkan dengan
alasan tak ada gunanya anak perempuan sekolah. (hal. 141)

Setelah tak lagi tinggal di kediaman pamannya, Dewi Sartika tinggal bersama ibunya di  Simpangsteg, terletak di belakang rumah dinas Patih Bandung. Di ruangan kecil di belakang rumahnya Dewi Sartika mengajari anak-anak gadis membaca dan menulis. Tercetuslah ide untuk meminta restu Kanjeng Dalem agar ia bisa mendirikan sekolah. Semula permintaannya itu tak membuahkan hasil. Namun semangat Dewi Sartika untuk mendirikan sekolah tak pernah surut. “Apa yang kamu cita-citakan, mendirikan sekolah untuk kaum perempuan itu, semestinya tidak dipersulit. Tapi Gusti Allah mungkinsedang menyiapkan sesuatu yang terindah bagimu, Uwi,” ujar Raden Ayu Rajapermas. (hal.229)

Pada 16 Januari 1904 Dewi Sartika akhirnya berhasil membangun Sakola Istri dengan bantuanBupati Bandung serta dukungan Tuan C. Den Hammer. Kemudian di tahun 1910 nama sekolah itu digantimenjadi Sakola Dewi Sartika. Pergantian nama tersebut bukan yang terakhir, sebab di tahun 1914 nama  itu kembali diganti menjadi Sakola Kautaman Istri. Ini merupakan sesuatu yang membahagiakan bagi Dewi Sartika, sebab impiannya membangun sekolah untuk kaum perempuan bisa terwujud. Dan lebih bahagia lagi ketika ia mengetahui bahwa sekolag yang didirikan mulai menyebar luas ke berbagai daerah. Dewi Sartika tak sekadar perintis pendidikan kaum perempuan, tetapi seorang aktivis berintegritas yang mewakafkan kehidupannya untuk pendidikan. Tak heran bila menjelang wafatnya di pengungsian – Desa Cineam – hanya satu yang selalu dipikirkannya yaitu bagaimana kelangsungan sekolahnya, yang mengakibatkan penyakit gulannya kronis. Sebuah dedikasi yang sulit dicari bandingannya untuk sekarang ini.

Dimuat di Radar Cirebon, 22 Agustus 2020

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

14 + 17 =