Diplomasi Humanis (ala) Sukarno

Oleh: Ridwan Nurochman

Sukarno memang seorang Presiden Indonesia yang sering melakukan kunjungan ke luar negeri seputar tahun 1960-an. Dalam bulan Juni 1960 saja, ia mengadakan perlawatan selama dua bulan empat hari ke India, Hongaria, Austria, Mesir, Guniea, Tunisia, Maroko, Portugal dan masih banyak lagi. Apa sesungguhnya tujuan dari semua lawatan tersebut? Dalam pengakuannya di otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, secara singkat dijelaskan, “Aku ingin agar Indonesia dikenal orang. Aku ingin dunia tahu, bagaimana rupa orang Indonesia, dan melihat bahwa kami bukan lagi ‘bangsa pandir’ seperti orang Belanda berulang-ulang menyebut kami; bukan lagi ‘Inlander goblok.. dst”. Alasan lain seperti yang diungkap sejarawan Aswi Warman Adam, ialah untuk mendapatkan dukungan internasional dalam kasus Irian Barat. Dan jelas ini upaya yang senantiasa diprotes oleh pihak Belanda. Itulah sedikit alasan yang melatari kenapa Sukarno begitu sering melakukan kunjungan ke luar
negeri.

Melalui buku ini kita akan tahu sepak terjang diplomasi Sukarno yang belum banyak tersiar. Buku ini merangkum, bagaimana diplomasi Indonesia, di awal kemerdekaan, telah diperjuangkan oleh para Founding Father bangsa, khususnya Presiden Sukarno sendiri, sesuai dengan kebijakan luar negeri bebas dan aktif. Memang betul, bahwa hubungan Internasional selalu dinamis dan kompleks. Namun, diplomasi harus luwes, lentur dan dipadukan dengan nilai-nilai humanisme, tanpa harus meninggalkan kepentingan nasional, sebagaimana yang dicontohkan oleh Presiden Sukarno.

Dalam membangun persahabatan dengan para pemimpin dunia Sukarno memiliki satu rahasia yang
membuatnya bisa diterima di berbagai bangsa yang dikunjunginya. Mengutip apa yang diucapkan Ralph
Waldo Emerson, seorang filsuf Amerika Serikat pertengahan abad ke-19, Sukarno berkata, “Satu-satunya
jalan untuk mempunyai seorang sahabat ialah menjadi seorang sahabat.”

Ini menjadi rumus Sukarno dalam menjalin pertemanan dengan berbagai pemimpin dunia yang ditemuinya. Ia selalu menempatkan dirinya sebagai sahabat yang menyenangkan bagi siapa pun. Ia menyapa, berjabat tangan, merangkul, menampilkan keramahtamahan dan berempati. Sukarno tak pernah pilih-pilih dalam berteman. Semua dirangkulnya, meski beda garis politik, ideologi, agama, dan perbedaan lainnya. Meski demikian, ia tetap menempatkan kepentingan rakyat dan bangsanya di atas segalanya.

Sukarno menyebut rumus pertemanan ini juga harus dipadukan dengan nilai-niali humanisme. Sukarno berprinsip kalau hubungan berbangsa dan bernegara harus dikaitkan dengan nilai-nilai humanisme. Menurut Sukarno, hubungan Internasional tidaklah harus kaku, rigid, dan tanpa melibatkan perasaan atau sentuhan emosi. Prinsip humanisme ini menjadi jalan diplomasi Sukarno yang kemudian menjadikannya mudah menerima perbedaan dan keragaman. Oleh sebab itu, ia mudah diterima oleh para pemimpin dunia mana pun. Dalam setiap lawatanya, Sukarno selalu memiliki agenda besar dalam alam pemikirannya. Ia ingin mengenalkan bangsa Indonesia kepada negara-negara dunia. Ia juga memiliki agenda penting lainnya, yakni ia ingin melihat dan belajar untuk menemukan bentuk sistem pemerintahan, bernegara yang pas, tepat bagi bangsa Indonesia. Prinsip humanisme ini juga berlaku saat Sukarno berkunjung ke Irak, Jerman Barat, Mali, India maupun Portugal.

Saat melakukan kunjungan diplomasi ke Irak, Sukarno menyampaikan pidato tentang dukungannya atas perjuangan rakyat Palestina. “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang- orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menentang penjajahan Israsl, ” kata Sukarno (hal.56) Sukarno dan Jenderal Qassim memiliki kesamaan terkait pandangan dunia Barat terhadap mereka. Dunia Barat memberi predikat keduanya sebagai pemimpin dunia ketiga yang “sulit diatur” bahkan membahayakan kepentingan Barat.

Sementara untuk kunjungan diplomasi ke Jerman Barat adalah sebuah kemenangan diplomasi Indonesia–terutama untuk menghadapi kepongahan Belanda yang saat itu terus menyudutkan Indonesia. Kunjungan ini membuat hubungan kedua negara semakin kukuh. Konrad Adenauer memastikan Jerman Barat akan membantu pembangunan Indonesia. Saat berbicara panjang lebar tentang politik global, ia lakukan dalam bahasa Jerman tanpa teks. Ia berbicara tentang revolusi di negeri-negeri Asia dan Afrika. Sukarno juga berbicara pentingnya reunifikasi antara Jerman Barat dan Jerman Timur. “Tidak ada yang lebih kuat daripada negara yang benar-benar bersatu dan tidak ada negara yang lehih lemah daripada orang-orang yang terpecah-pecah. Jerman Barat dan Jerman Timur harus bersatu kembali,” kata Sukarno. (hal.180) Dari buku ini kita menjadi paham bahwa Sukarno adalah seorang diplomat ulung kelas dunia dengan visinya yang begitu jauh ke depan. Dengan kemampuan diplomasi, penguasaan multibahasa (Inggris, Prancis, Jermat, Belanda) yang memukau ditambah dengan model pendekatannya yang  humanis, ia mendobrak sekat-sekat perbedaan, menguntai tali persahabatan dan pertemanan dengan berbagai pemimpin dunia.

Buku ini juga menyimpulkan bahwa Sukarno ingin mengajarkan kepada bangsa dan rakyatnya, bahwa bangsa Indonesia dapat berdiri sejajar dan duduk sama rendah dengan bangsa lain. Buku yang penting dan patut dibaca, tidak saja oleh sejarawan, diplomat, namun juga bagi kalangan muda, untuk mengenal sejarah diplomasi bangsanya.

Dimuat di Harian Bhirawa, 28 Agustus 2020

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

seven + eight =