Tsunami Aceh, Sebuah Prediksi yang Terbukti (Seri 2)

Oleh: Faried Wijdan Al-Jufry, pernah dimuat di samudrafakta.com

Dalam kuatrain-kuatrainnya, Nostradamus hanya menggambarkan suatu peristiwa secara teknis, namun tak menyebutkan kapan dan di mana peristiwa tersebut bakal terjadi. Dalam kuatrain I/29, dia menggambarkan sebuah fenomena tak biasa, cenderung dahsyat, yang berkaitan dengan laut. Banyak pihak percaya kuatrain tersebut meramalkan peristiwa tsunami yang menerjang Aceh dan beberapa negara di Asia pada 26 Desember 2004.

Kuatrain I / 29

Quand le poisson, terrestre et aquatique.

Par forte vague au gravier sera mis,

Sa forme étrange suave et horrifique

Par mer aux murs bien tort enemies.

 

Ketika ikan-ikan, baik dari laut maupun daratan

Dilemparkan ke pantai oleh gelombang besar

Penampilan mereka yang lembut namun aneh dan menakutkan

Akan menjadikan dinding yang terpuntir musuh kita.

Menurut Mario Reading, dalam buku The Complete Properchies for The Future (diterjemahkan menjadi Ramalan yang Mengguncang Dunia, Penerbit Imania, 2022), Nostradamus meramalkan bakal terjadi banjir sangat kuat yang diakibatkan oleh gelombang yang sangat besar sehingga mendorong ikan-ikan di laut sampai ke kota.

Selain membawa ikan, dinding rumah orang-orang yang hancur diterjang banjir bah. Dinding itu sebenarnya dibangun untuk melindungi mereka, namun akhirnya malah menjadi ancaman ketika terbawa oleh arus banjir besar.

Mario Reading menafsirkan bahwa deskripsi Nostradamus mengenai gelombang pasang yang “lembut namun aneh” itu adalah penggambaran tentang gelombang tsunami. Nostradamus menggunakan istilah tersebut karena, menurut Mario, dia belum mengenal istilah “tsunami” dan tak pernah melihat langsung peristiwa tersebut.

“Terasa semakin menakutkan sebab konsep semacam itu sama sekali di luar pengalamannya (Nostradamus) sendiri,” tulis Mario. “Gambaran mengenai ‘dinding-dinding air yang lembut’ dan yang tiba-tiba berubah menjadi ancaman mengingatkan kita pada surat-surat Pliny untuk Taticus (termaktub dalam Risalah VI kitab Al Magest karya Ptolomeus, Hal. 16 dan 20) dan deskripsinya (deskripsi Pliny dalam suratnya—red) mengenai gelombang pasang yang menyerang Herculaneum setelah meletusnya gunung Visuvius pada bulan Agustus 79 M,” kata Mario.

Selain menghancurkan Pempoeii dan Stabiae, lanjut Mario, gelombang raksasa itu membunuh paman Pliny, yaitu Publius Caecilius Secundus alias Pliny senior. Nostradamus tidak pernah melihat langsung peristiwa yang digambarkan Pliny dalam suratnya itu karena mereka berdua hidup di masa yang berbeda. Pliny hidup jauh di masa sebelum Nostradamus dilahirkan. Dan di era Nostradamus tidak pernah ada kejadian tsunami sebagaimana yang disaksikan Pliny. Namun demikian, Nostradamus seolah-olah melihat langsung peristiwa yang pernah digambarkan Pliny tersebut, lalu menuangkannya dalam salah satu kuatrainnya, dan memprediksi bahwa kejadian serupa akan terjadi lagi di masa yang akan datang.

Ramalan kuatrain itu, menurut Mario, terbukti ketika sebuah gempa serupa yang digambarkan Pliny, dengan kekuatan 9.3 pada skala Richter, terjadi di pantai barat Sumatera Utara, Indonesia, pada 26 Desember 2004. Pusat gempa adalah patahan—yang kadang juga disebut “dinding pemisah”—antara lempengan India dan Burma. Setelah gempa, ikan-ikan laut benar-benar ditemukan di daratan kering, setelah bencana tsunami berlalu, dan “dinding” lempengan-lempengan tektonik yang bergeser benar-benar menjadi ancaman untuk manusia—persis yang digambarkan kuatrain Nostradamus.

Gelombang tsunami yang menerjang pesisir Aceh saat itu diperkirakan mencapai ketinggian 30 meter, dengan kecepatan mencapai 100 meter per detik atau sekitar 360 kilometer per jamnya. Gempa yang memicu tsunami itu terjadi di bawah laut, sekitar 100 kilometer sebelah barat pantai Sumatera. Pusat gempa ada pada kedalaman sekitar 30 kilometer di dasar laut. Ada dua lempeng kontinental yang bertumbukan. Tekanan-tekanan hebat itu kemudian menyebabkan salah satu lempeng bergeser ke bawah lempeng lain.

Tsunami ini disebut oleh ahli sebagai tsunami terbesar ke-3 yang pernah ada dalam sejarah, setelah Tsunami Unzen tahun 1972 dengan ketinggian gelombang mencapai 100 meter, dan Tsunami Teluk Lituya, Alaska, tahun 1958, dengan ketinggian gelombang mencapai 500-an meter. Ahli geologi menyebut tsunami 2004 sebagai “gempa monster” yang berlangsung sangat lama: sampai 10 menit. Sebab, biasanya gempa semacam ini hanya berlangsung beberapa detik saja.

Menurut berbagai perhitungan, kekuatan gempa saat itu mencapai 9,1 sampai 9,3 pada skala Richter, dan merupakan gempa terbesar kedua dalam 100 tahun terakhir. Pada tahun 1960 sebuah gempa bumi berkekuatan 9,5 SR mengguncang Chile. Guncangan itu juga berlangsung lebih lama dari biasanya, lalu disusul gunungan ombak yang menerjang pantai dengan kecepatan sangat tinggi.

Gelombang tsunami Desember 2004 dicatat sebagai bencana alam terparah dalam sejarah modern. Berdasarkan laporan National Science Foundation (NSF), salah satu lembaga ilmiah paling bergengsi di Amerika Serikat, gempa itu adalah peristiwa dengan dimensi tak terbayangkan, bila ditinjau dari aspek jumlah korban maupun aspek geologis.

Gelombang raksasa tsunami muncul karena salah satu lempeng kontinental bergeser naik sampai 15 meter. Geraknya vertikal. Peristiwa itu mengakibatkan dasar laut di beberapa tempat bergerak naik sampai 10 meter. Itulah yang membuat permukaan laut naik tiba-tiba.

Air yang terdorong kemudian membentuk gelombang besar yang bergerak dengan kecepatan sangat tinggi, secepat pesawat jet, dan bergerak ke arah pantai. Di daerah laut dalam, air yang bergerak cepat ini tidak terlalu terasa di permukaan. Tetapi, ketika menuju daerah pantai yang makin landai, gelombang bergulung makin tinggi.

Di daerah pantai Sumatera, tinggi gelombang mencapai sekitar 30 meter. Saking ngerinya, Kapal Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) apung seberat 2.600 ton yang terletak 3,5 km di Pantai Ulee Lhee, ikut terseret ke daratan.

Pada 27 Desember 2004, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bahwa tsunami Aceh merupakan bencana kemanusiaan terbesar yang pernah ada. Tsunami ini menyibukkan satu dunia untuk mengerahkan bala bantuan, serta melakukan riset lanjutan untuk memitigasi bencana tsunami.

Tsunami 2004 menelan korban 226.308 jiwa di negara-negara terdampak. Indonesia menjadi negara dengan jumlah korban terbesar, di mana 173.741 jiwa meninggal dan 394.539 mengungsi. Dan berdasarkan data Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias (BRR Aceh-Nias), 93.285 orang dinyatakan hilang, 500 ribu orang kehilangan tempat tinggal, dan sekitar 750 ribu orang kehilangan pekerjaan hingga menjadi tuna karya.

Sebanyak 654 desa rusak oleh tsunami Aceh. Keluarga yang kehilangan atau rusak tempat tinggalnya tercatat ada 63.977 KK. Kerusakan dan kerugian yang diakibatkan bencana ini mencapai lebih dari 97% dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Aceh. Total nilai kerugian ditaksir menyentuh angka USD4,5 miliar.

Selain Aceh, Indonesia, total ada 14 negara lain yang juga terdampak, yaitu Sri Lanka, India, Thailand, Somalia, Myanmar, Maladewa, Malaysia, Tanzania, Seychelles, Bangladesh, Afrika Selatan, Yaman, Kenya, dan Madagaskar. Indonesia adalah negara yang dampaknya paling parah, disusul Sri Lanka, India, dan Thailand.

Menurut Prof Charles Ammon, profesor geosains di Penn State University, dahsyatnya gempa ini disebut-sebut menyebabkan seluruh planet Bumi bergetar 1 sentimeter (0,4 inci).  Biasanya gempa bumi kecil mungkin berlangsung kurang dari satu detik; gempa bumi berukuran sedang mungkin berlangsung beberapa detik; sementara gempa ini berlangsung antara 500 – 600 detik.

Sabda alam dahsyat ini sampai mengubah jalur pelayaran di Selat Malaka dan mengubah kedalaman dasar laut di perairan yang memisahkan Malaysia dengan Pulau Sumatra itu. Di satu tempat, kedalaman air yang sebelumnya mencapai 4.000 kaki mendangkal menjadi 100 kaki, sehingga mustahil untuk dilayari.

Satu ramalan Nostradamus terbukti.

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

nineteen − five =