Oleh: Haidar Musyafa
Pada bulan April 2020 kemarin, saya menerbitkan buku biografi berjudul, Pak AR dan Jejak-Jejak Bijaknya. Buku setebal 460 halaman yang diterbitkan oleh Penerbit Imania yang berkantor di Jl. Purnawarman Blok A No. 37, Bukit Cirendeu, Pondok Cabe, Tangerang Selatan ini berisi tentang kisah hidup dan perjuangan dakwah Pak AR Fakhruddin. Sebenarnya, sudah sejak lama saya berniat menarasikan peri kehidupan dan perjuangan Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1968-1990 ini. Namun, niat itu baru terlaksana di tahun ini. Hal yang membuat saya gembira tentu saja karena hadirnya buku ini mendapat sambutan yang cukup baik dari masyarakat. Seakan, hadirnya buku ini adalah obat kerinduan mereka pada sosok ulama dan dai kharismatik yang sahaja dan penuh cinta kasih ini.
Pak AR tidak hanya dikenal sebagai sosok yang ramah dan santun, murah senyum, mudah bergaul, dermawan, serta sangat lembut dan sejuk dalam berdakwah. Selain itu, putra Kiai Fachruddin, lurah naib (penghulu) di Kadipaten Pura Pakualaman, ini juga dikenal sebagai mujahid dakwah yang ikhlas mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mengurus kepentingan umat.
Pak AR juga dikenal sebagai pemimpin yang dapat mengayomi dan memberi contoh kebaikan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Pak AR adalah seorang mubaligh yang berhasil menggerakkan dan menggairahkan dakwah Islam, sekaligus menjadi idola karena kecerdasan dan kepiawaiannya dalam mengemas pokok-pokok ajaran Islam yang rumit dan berat menjadi bahasan yang ringan sehingga mudah dipahami.
Pak AR adalah muballigh yang berhasil menyatukan umat Islam yang berasal dari berbagai golongan. Ceramah-ceramahnya yang ringan, lembut dan sejuk berhasil menyentuh hati jamaahnya. Setiap kali Pak AR diminta mengisi pengajian, baik di kota-kota besar maupun di pelosok-pelosok desa, jamaah pasti datang berbondong-bondong menghadirinya.
Mereka rela duduk berdesakan, demi bisa mendengar nasehat Pak AR yang lembut, teduh, sejuk, dan tidak penuh humor yang menyegarkan. Selain dikenal sebagai kiai yang merakyat, Pak AR juga dikenal sebagai pemimpin yang dekat dengan para pejabat tinggi negara dan kalangan elite, tapi juga tidak menjaga jarak dengan rakyat kecil yang tersebar di daerah-daerah terpencil.
Pak AR adalah seorang yang moderat. Tuturan dan pesan dakwahnya teduh dan menyejukkan. Isi ceramah-ceramahnya bernas dan selalu disampaikan dengan ringan dan mengena. Bahasa dakwahnya sangat halus dan njawani, sehingga tak membuat jamaah mengerutkan kening hanya sekadar untuk memahami. Pak AR adalah figur seorang dai pembina, bukan penghina. Pendidik, bukan pembidik. Pemersatu dan pengukuh bukan peruntuh. Meski begitu, Pak AR adalah sosok yang sangat tegas soal akidah dan prinsip Islam. Siapa pun akan dihadapinya jika ada yang berani mengusik akidah umat dan menghina ad-Diinul Islam.
Pak AR adalah seorang muballigh yang berani melakukan pembaharuan Islam di Indonesia. Sebagai orang Muhammadiyah yang mengusung gerakan islah dan tajdid, Pak AR berani mengajak masyarakat yang masih mencampur-adukkan adat-istiadat dengan ajaran Islam, kembali pada pemurnian ajaran Islam yang sesuai dengan Al-Quran dan sunnah. Meski begitu, Pak AR bukan tipe orang yang senang melecehkan ajaran leluhur dan keberagaman adat-budaya yang melekat pada bangsa Indonesia. Pak AR justru sangat toleran dan moderat, seorang kiai yang mampu menjaga kearifan lokal. Pun, Pak AR itu adalah seorang dai yang humoris dalam menyampaikan dakwah.
Ya, Pak AR itu orangnya super lucu. Jika pas sedang mengisi ceramah atau pengajian, banyak jamaah yang sudah tertawa, padahal Pak AR baru naik mimbar dan belum berbicara apa-apa.[i] Pak AR adalah seorang muballigh yang cerdas dan piawai dalam mengemas dakwah. Pak AR tidak pernah menyampaikan ajaran Islam dengan kaku, tapi dia berusaha menyampaikan seluk-beluk agama dengan cara yang ringan dan santai. Bahkan, Pak AR selalu membumbuinya dengan lelucon demi lelucon yang membuat jamaah terpingkal-pingkal.[ii]
“Pak AR itu orangnya memang lucu dan penuh humor. Tidak jarang hal yang lucu-lucu diselipkan di sela-sela materi ceramah atau pengajian, sehingga dakwahnya menjadi ringan, cair, dan tentu saja lebih mengena pada jamaah yang mendengarkan nasehat-nasehat bijaknya,” kata Buya Syafii Maarif.[iii]
Lebih jauh Buya Syafii Maarif menjelaskan bahwa, selain lucu dan suka humor, Pak AR itu adalah sosok muballigh yang cerdas dan sangat cepat dalam menjawab berbagai macam pertanyaan yang diajukan kepadanya. Selain cepat, Pak AR juga tepat dalam memberikan tanggapan terkait dengan hal-hal yang ditanyakan kepadanya, meski terkadang apa yang disampaikan Pak AR bukan merupakan jawaban atas suatu pertanyaan yang diajukan. Uniknya, setiap tanggapan yang diberikan Pak AR selalu masuk akal dan dapat diterima, meski hal itu bukan sebuah jawaban dan disampaikan dengan tidak serius atau sambil selengekan.
Kepada penulis, Buya Syafii pernah bercerita jika suatu kali beliau merasa sangat perihatin melihat Pak AR banyak merokok. Menurutnya, kurang pantas sosok pemimpin Muhammadiyah banyak merokok, apalagi Pak AR sering merokok secara terang-terangan di depan pengurus ataupun warga Muhammadiyah. Sebagai kader Muhammadiyah, tentu saja Buya Sayfii tidak ingin apa yang dilakukan Pak AR itu dikemudian hari ditiru oleh warga persyarikatan. Lebih menakutkan lagi jika apa yang dilakukan Pak AR tersebut dianggap sebagai sesuatu yang lumrah, padahal banyak madharatnya.
“Pak AR ini kenapa banyak merokok?” tanya Syafii Maarif.
Pak AR hanya tersenyum. Tak lama kemudian dia menjawab, “Ah, siapa bilang saya banyak merokok?! Ndaklah, saya ndak banyak merokok. Lha wong saya merokok satu-satu, siapa bilang banyak?”
Buya Syafii yang mendapati jawaban Pak AR seperti itu hanya tersenyum. Setelah direnungkan, benar juga apa yang dikatakan Ketua PP Muhammadiyah periode 1968-1990 itu. Dia tidak banyak merokok, tapi merokoknya memang satu-satu.
“Saya tersenyum saja mendengar jawaban Pak AR seperti itu. Tapi uniknya, Pak AR melontarkan jawaban selucu itu tidak sambil tersenyum apalagi tertawa,” kata Buya Syafii Maarif.
Kepribadian yang sederhana, santun, dan penuh humor memang melekat pada diri Pak AR. Banyak kalangan menilai jika semua itu menjadi kelebihan putra Kiai Fachruddin itu sehingga berhasil menggerakkan dan menggairahkan dakwah Islam, khususnya dilingkungan Persyarikatan Muhammadiyah. Pak AR adalah sosok figur yang sangat sederhana untuk urusan dunia, tapi sangat perhatian terhadap ilmu dan agama.
Hal itulah yang kemudian membuatnya menjadi sosok pribadi yang cerdas, berpengetahuan luas, dan piawai dalam mensyiarkan ajaran Islam—sehingga menjadi sajian dakwah yang berbobot dan berisi tapi membuat jamaah merasa senang dan tak bosan mendengar petuah-petuah bijaknya. Ketahanan jamaah duduk selama berjam-jam mendengarkan ceramah-ceramah Pak AR—salah satunya—didukung oleh kepiawaian dan kecerdasannya dalam mengemas dakwah, menyisipi ceramah-ceramahnya dengan humor yang membangun.
Bukti bahwa Pak AR adalah seorang muballigh yang lucu dan senang humor juga datang dari Abdul Munir Mulkhan. Penulis, Marhaens Muhammadiyah, itu mengatakan jika Pak AR adalah seorang yang senang menyisipkan humor di dalam ceramah-ceramahnya. “Saya pernah mengalaminya sendiri. Suatu kali, di tahun 1980-an, diselenggarakan pertemuan nasional pimpinan Muhammadiyah Se-Indonesia di Yogyakarta. Saya lupa tanggal penyelenggaraannya, tapi ada hari Jumat-nya, dan saya termasuk salah satu peserta dalam acara akbar itu. Shalat Jumat dilaksanakan di Masjid Taqwa Suronatan. Karena datang belakangan, saya otomatis duduk di belakang dan tidak dapat melihat jelas siapa khatib yang berceramah. Hanya saja ketika saya sampai di masjid, masjid serasa mau runtuh karena jamaah tertawa. Saya tidak mendengar jelas apa meteri apa yang disampaikan sang khatib sehingga membuat jamaah Shalat Jumat tertawa. Tetapi yang jelas, khatib Shalat Jumat hari itu adalah Pak AR,” kata Abdul Munir Mulkhan.[iv]
Selanjutnya Abdul Munir Mulkhan menjelaskan bahwa di dalam berdakwah dan berkomunikasi, Pak AR memiliki kekuatan tersendiri, yaitu terletak pada caranya yang kocak dan penuh humor. Uniknya, kelucuan itu dibangun oleh Pak AR tanpa perkataan dan pembicaraan jorok atau menyenggol sesuatu yang bertentangan dengan norma-norma agama. Semua mengalir begitu saja, seakan Pak AR sendiri pun sama sekali tidak menyadari jika yang diomongkannya adalah sesuatu yang lucu dan berhasil membuat jamaah tertawa terpingkal-pingkal—karena memang Pak AR hampir tidak pernah tertawa meski apa yang diomongkannya berhasil membuat jamaah tertawa.
“Humor yang diselipkan Pak AR selalu dalam konteks materi yang sedang disampaikan kepada jamaah, sehingga isi ceramah dan suasana pengajian menjadi lebih hidup. Cara berkomunikasi Pak AR yang lucu dan mengandung humor tingkat tinggi hampir tidak pernah ditemukan pada sosok pemimpin selainnya hingga saat ini. Jika hampir semua orang berpikir, satu ditambah satu sama dengan dua, maka bagi Pak AR satu ditambah satu tidak dua, tapi bisa tiga, empat, lima, dan lain sebagainya,” kata Abdul Munir Mulkhan.[v]
Menurut Musthofa W Hasyim, dalam sebuah acara pengajian, Pak AR pernah ditanya oleh salah seorang jamaah. Inti pertanyaannya berkaitan dengan sebuah hadis yang menyatakan bahwa setan dibelenggu selama bulan Ramadhan. Hanya saja, yang membuat jamaah ini merasa aneh dan kemudian memberanikan dirinya bertanya kepada Pak AR, mengapa masih banyak orang berbuat maksiat dan kedhaliman di bulan suci Ramadhan jika memang setan benar-benar sudah dibelenggu?!
Pak AR sama sekali tidak memberikan jawaban yang berisi penjelasan hadis tersebut, tapi dia justru menjawab jika manusia itu memang makhluk yang sangat lemah. Sudah mengaku beriman kepada Allah dan berjanji akan mentaati perintah-Nya, tapi banyak juga yang gagal karena lemah imannya. “Melawan setan yang sudah dibelenggu saja kalah, apalagi melawan setan yang lepas atau tidak dibelenggu?!” kata Pak AR sebagaimana ditirukan Musthofa W Hasyim.[vi]
Pak AR adalah pemimpin yang berhasil memberikan teladan bagi seluruh warga Muhammadiyah bahwa dakwah adalah pekerjaan menggembirakan. Dakwah bukan merupakan pekerjaan sulit dan berat jika dilakukan dengan hati yang gembira, juga tahu cara melakukannya. Cara berdakwah yang tepat tidak lain adalah harus dilakukan dengan ikhlas dan mampu menyenangkan obyek dakwah, di mana cara ini ditempuh oleh Pak AR—salah satunya—dengan menyisipkan humor disela-sela materi dakwah yang dikemasnya dengan ringan tapi berisi.
“Cara berceramah Pak AR halus, santun dan pelan. Tuturan dakwahnya ringan dan tidak menggebu-gebu, tapi justru dengan begitu apa yang disampaikannya berhasil diterima dengan hati yang gembira oleh mayoritas jamaah. Cara berdakwah yang disampaikan dengan bahasa yang ringan dan tak jarang diselipi humor itulah yang menjadi kelebihan Pak AR sekaligus keberhasilannya dalam berdakwah,” kata Habib Chirzin.[vii]
Menurut Khoiruddin Bashori, Pak AR adalah model manusia muslim yang punya keluasan ilmu pengetahuan, di mana ilmu itu tidak didapatkannya dari sekolah formal tapi justru didapat dari pengalaman dan ketekunannya dalam belajar secara otodidak. Secara formal, Pak AR tidak bergelar sarjana. Tapi keluasan ilmunya bisa disejajarkan dan bahkan mengungguli orang-orang yang menyandang gelar sarjana itu.
Pak AR mampu berbicara sesuai dengan tingkat pemahaman audiens. Dia sangat fleksibel dan lentur dalam berkomunikasi, sehingga bisa menyesuaikan diri dengan kalangan atas maupun bawah. Keluasan ilmu pengetahuan dan keluguan Pak AR menjadikannya sebagai sosok yang berhasil dalam menyampaikan materi apa pun dan ditingkat mana pun. Apa pun yang disampaikan Pak AR pasti berhasil diterima dengan baik oleh audiensnya, entah itu dari kalangan elite maupun rakyat biasa.[viii]
Lebih jauh Khoiruddin Bashori menyatakan bahwa suatu ketika Pak AR pernah ditemui oleh panitia Peringatan Isra Miraj Nabi Muhammad Saw yang akan digelar di Gelanggang Mahasiswa Universitas Gajah Mada. Hanya saja, kapasitas Pak AR hanya sebagai pembicara pengganti karena pembicara utama yang seorang cendekiawan dari Jakarta tidak bisa hadir. “Waktu itu saya dan teman-teman sangat berharap Pak AR menolak permintaan para Mahasiswa dari UGM itu, karena kami tahu jika acara itu adalah acaranya kaum intelektual sementara Pak AR hanya ulama desa yang dididik oleh kiai desa dan menimba ilmu di pesantren. Sebagai kader Muhammadiyah, tentu kami tidak ingin Pak AR mendapat malu jika sampai gagal menyampaikan materi sebagaimana yang dimaui para mahasiswa itu,” kenang Khoiruddin Bashori.[ix]
“Hanya saja, apa yang menjadi harapan kami pupus. Pak AR menerima tawaran para mahasiswa itu untuk menjadi pembicara pengganti pada Peringatan Isra Miraj Nabi Muhammad Saw di Gelanggang Mahasiswa UGM,” lanjut Khoiruddin Bashori. “Kami sebagai anak buahnya tentu hanya bisa berdoa, semoga nama baik Pak AR tidak jatuh di depan civitas akademika UGM yang terkenal kritis.”[x]
Hari itu juga Pak AR berangkat ke Gelanggang Mahasiswa bersama panitia yang menjemputnya. Putra Kiai Fachruddin itu naik ke podium dan berbicara di depan ribuan mahasiswa UGM dan para tamu undangan dengan penuh percaya diri. Tema Isra Miraj disampaikan Pak AR dengan runtut dan sesuai harapan semua pihak. Gaya penyampaian Pak AR yang ringan dan penuh humor ternyata mengundang kagum dari banyak pihak. Pamor Pak AR bukannya jatuh—sebagaimana yang dikhawatirkan Khoiruddin Bashori—tapi dia justru mendapat hujan puji dari banyak pihak. Meski bukan jebolan Perguruan Tinggi, tapi Pak AR mampu berbicara dihadapan orang-orang terpelajar sesuai dengan tingkat pemahaman mereka. Walau begitu, Pak AR tetap rendah hati dan penuh humor dalam melayani jamaahnya.
Ketika tiba sesi tanya jawab, Pak AR berkata pada seluruh hadirin, “Mohon maaf, karena kapasitas saya ini hanya sebagai pengganti, dan semua yang hadir di sini juga tahu kalau saya ini bukan seorang intelektual seperti pembicara dari Jakarta yang berhalangan hadir, maka jika ada yang ingin bertanya…pertanyaannya jangan yang sulit-sulit ya, biar saya mudah menjawabnya.”
Semua orang yang hadir di Gelanggang Mahasiswa UGM tertawa mendengar perkataan Pak AR. Sebuah acara yang sebelumnya dikonsep ilmiah berubah menjadi acara yang semarak dengan tawa dan riuh tepuk-tangan. Keluguan, kesederhanaan dan kelenturan dakwah Pak AR berhasil menarik simpati kalangan terpelajar itu, sehingga bukan namanya yang jatuh tapi justru tingkat keilmuannya yang diakui.[xi]
Pada 1955 Pak AR terpilih sebagai anggota DPRD kota Yogyakarta mewakili Partai Masyumi. Sebagai seorang anggota dewan, Pak AR mendapat banyak fasilitas. Salah satunya adalah fasilitas kredit sepeda motor. Karena saat itu Pak AR belum memiliki Sepeda Motor, maka fasilitas itu tidak disia-siakannya dan jadilah Pak AR membeli Sepeda Motor Merk IFA dengan cara dicicil. Agar bebas naik Sepeda Motor ke mana saja, maka Pak AR harus memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM). Sehingga pada 1956 Pak AR datang ke Samsat kota Yogyakarta untuk mencari SIM.
Seperti pencari SIM kebanyakan, Pak AR diharuskan mengikuti ujian tertulis dan ujian praktik. Ujian teori diselesaikan Pak AR tanpa hambatan. Selesai mengikuti ujian teori, Pak AR diharuskan mengikuti ujian praktek. Pada saat itu, ujian prakter dilakukan dengan cara para peserta harus mengikuti polisi penguji naik motor di jalan raya, kemudian masuk ke jalan-jalan sempit di perkampungan atau gang-gang yang sempit dan sulit.
Saat menaiki Sepeda Motor di jalan raya, Pak AR tidak menemukan hambatan. Namun ketika sudah masuk ke jalan gang yang sempit dan licin, barulah Pak AR menemukan kesulitan. Postur tubuhnya yang gemuk dan besar membuatnya tidak piawai menjaga keseimbangan, sehingga Pak AR memilih turun dan Sepeda Motornya dituntun. Polisi penguji yang melihat kelakuan Pak AR menegurnya, “Lho Pak, kenapa motornya malah dituntun?”
Pak AR enteng menjawab, “Lha tujuan saya ikut ujian SIM ini untuk mencari selamat di jalan je Pak. Makanya itu kalau saya ketemu jalan yang sulit dan licin seperti ini, saya lebih baik turun dan menuntun motor saya daripada jatuh dan membahayakan diri sendiri.”
Polisi penguji langsung tertawa mendengar jawaban Pak AR. Hari itu juga Pak AR dinyatakan lulus ujian dan berhasil mendapatkan SIM.[xii]
Pak AR adalah seorang muballigh yang lembut dan lentur cara dakwahnya. Ajaran Islam disampaikannya dengan enak dan disesuaikan dengan pengetahuan dan pemahaman jamaahnya. Pak AR tidak pernah memaksakan kehendak dalam berdakwah tapi justru berusaha untuk mensyiarkan risalah Islam dengan habasa yang ringan dan menyenangkan. Pak AR selalu menyesuaikan kondisi obyek dakwah dalam mengajar ilmu agama sehingga dakwahnya lebih mengena dan bisa diterima.[xiii]
Pak AR tidak hanya seorang muballigh yang sangat paham seluk-beluk agama, tapi dia juga sangat paham adat dan tradisi masyarakat yang didakwahinya. Sehingga Pak AR tahu persis tingkat pengetahuan dan pemahaman mereka, dan pada akhirnya dia pun berhasil memberi nasehat-nasehat agama sesuai dengan takarannya. Karena diberi nasehat sesuai dengan takarannya, masyarakat yang menjadi obyek dakwahnya pun mudah menerima dan mengerti ajaran Islam. Sehingga mereka pun dengan ikhlas bersedia mengikuti ajakan Pak AR dengan penuh kesadaran dan tanpa keterpaksaan.[xiv]
Selain dikenal sebagai sosok yang sangat sederhana dalam kehidupannya, Pak AR juga sangat sederhana dalam sikap dan pemikiran-pemikirannya. Semua yang disampaikan tidak pernah neka-neka dan berliku-liku. Meteri ceramahnya mudah diterima dan dihayati oleh jamaah, tidak membingungkan dan membuat pusing orang yang mendengarnya.
“Siapa pun yang mengikuti pengajian Pak AR pasti dapat dengan mudah meresapi setiap kata demi kata yang disampaikannya. Hal itu karena Pak AR selalu berusaha menyampaikan materi-materi yang rumit dengan bahasa yang ringan dan sengaja memilih kata-kata yang sederhana, dengan suasana kalimat yang pendek dan langsung tetapi tetap logis dan bisa diterima oleh akal,” tulis Suratmin dalam buku yang dianggitnya, Pak AR Muballigh Ndeso.[xv]
Lebih jauh Suratmin menjelaskan bahwa dakwah Pak AR berhasil menjangkau semua kalangan, baik kalangan atas maupun bawah. Setiap kali memberikan ceramah, Pak AR senantiasa menyelinginya dengan humor dan guyonan yang mendidik. Apa yang menjadi kebiasaan Pak AR itulah yang kemudian membuat jamaahnya mengenal pengasuh rubrik, Pak AR Menjawab, di SKH Kedaulatan Rakyat itu sebagai seorang dai dan muballigh yang ndagel. “Kata-katanya sederhana tapi lucu, santun dan tetap mengandung kebijakan tentang kearifan,” tulis Suratmin.[xvi]
Meski lucu, Pak AR selalu berusaha menghidari kata-kata atau kalimat yang jorok. Dia juga memberikan anjuran agar para dai dan muballigh Muhammadiyah agar menghindari hal-hal yang kurang pantas dalam menyampaikan humor atau guyonan ketika berceramah di depan jamaah.[xvii]
Menurut Pak AR, seorang dai boleh melempar humor dalam ceramahnya. Namun, hendaknya hal itu tidak dijadikan sebagai tujuan dalam berceramah. Sebab, Bagi Pak AR secara pribadi, humor atau lelucon hanya sekadar sarana untuk memudahkannya dalam bertabligh. Agar semua materi yang disampaikan bisa lebih mudah diterima oleh jamaah, karena suasana yang gembira akan mempermudah mereka menerima ilmu yang disampaikan oleh sang dai.[xviii]
Dalam sebuah brosur yang ditujukan untuk para muballigh Muhammadiyah yang diterbitkan sekira tahun 1960 Pak AR menulis, “Tertawa dari para pendengar memang baik. Tepuk tangan mereka merupakan salah satu pertanda jika mereka benar-benar dapat menerima ceramah dan mengikuti saudara. Namun, sebagai muballigh Muhammadiyah, hendaknya jangan jadikan tepuk tangan dan tertawaan pendengar sebagai tujuan yang hendak dicapai. Jangan merasa puas hanya karena mendapat tepuk tangan dan tertawaan dari pendengar. Jangan juga asal ditertawakan dan diberi tepuk tangan. Bolehlah dan perlu diusahakan agar sekali-kali pendengar tertawa dan bertepuk tangan, tapi hanya sekadar sebagai selingan agar jangan mengantuk dan jangan terlalu tegang.”[xix]
Dalam kesempatan wawancara dengan penulis, Sukriyanto menyatakan bahwa Pak AR tidak pernah merasa bosan memberikan nasehat kepada anak-anak dan kader-kader Muhammadiyah, khususnya yang sudah menjadi dai dan muballigh, agar dakwah disampaikan sesuai dengan tingkat pemahaman orang yang didakwahi. Boleh ndagel atau melucu dalam berceramah, tapi hendaknya hal itu jangan dijadikan sebagai tujuan. Namun semua itu hanya sekadar digunakan untuk menciptakan suasana gembira agar jamaah tidak merasa tegang dan kaku sehingga mudah menerima materi ceramah yang disampaikan oleh sang dai.[xx]
“Agar sukses berdakwah, seorang muballigh harus pandai memperhatikan apa yang dibutuhkan masyarakat, juga tahu kondisi dan kultur adat-tradisinya. Pak AR banyak mempelajari kitab-kitab agama, tapi ketika berdakwah, Pak AR sama sekali tidak berpatokan pada kitab-kitab yang dipelajarinya. Bagi Pak AR, dakwah harus dilakukan dan disampaikan dengan mudah dan menyenangkan, sesuai dengan tingkat pemahaman obyek dakwah-nya,” kata Sukriyanto.[xxi]
Dalam berdakwah, Pak AR juga mengedepankan humor sebagai sarana untuk menggembirakan orang yang didakwahinya. Menurut penulis, Bentuk Sekolah Kita, ini jika suasana kegembiraan sudah terbangun, maka ajaran Islam akan mudah diterima. Sehingga mereka belajar Islam dengan perasaan senang dan hati yang ikhlas, tanpa ada paksaan dan tekanan.[xxii]
“Cara dakwah Pak AR sangat ringan, bahasanya sederhana, dan tuturannya amat sangat menyejukkan. Meski sederhana, tapi sebenarnya materi yang disampaikan Pak AR itu adalah materi yang berat. Di sinilah kecerdasan Pak AR, yang mampu menyampaikan ajaran yang berat dengan bahasa yang ringan dan sederhana, tapi isinya tetap berbobot. Kecerdasan Pak AR dalam membahasakan ajaran agama Islam sesuai dengan kondisi jamaah dan sisipan humor yang membangun dan mendidik disela-sela ceramah adalah bukti keberhasilan Pak AR dalam berdakwah, khususnya dikalangan warga Muhammadiyah,” kata Khoiruddin Bashori.[xxiii] []
[i] Ibid. Wawancara. Dr. Khoiruddin Bashori.
[ii] Ibid. wawancara. Sukriyanto AR.
[iii] Ibid. Wawancara.
[iv] Ibid. Wawancara.
[v] Ibid. Wawancara.
[vi] Ibid. Wawancara.
[vii] Ibid. Wawancara.
[viii] Wawancara dengan Dr. Khoiruddin Bashori dilakukan pada 18 November 2019.
[ix] Ibid. Wawancara.
[x] Ibid. Wawancara.
[xi] Diceritakan Dr. Khoiruddin Bashori saat wawancara dengan penulis pada 18 November 2019.
[xii] Kisah ini berdasarkan cerita Sukriyanto AR. Lihat: Drs. H. Sukriyanto AR, M.Hum. 2016. Anekdot dan Kenangan Lepas Tentang Pak AR. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. Hlm, 17.
[xiii] Wawancara dengan Muchlas Abror pada 24 Desember 2019.
[xiv] Wawancara dengan Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan pada 17 November 2019.
[xv] Drs. Suratmin. 2010. Pak AR Muballigh Ndeso: Ketua Muhammadiyah 1968-1990. Yogyakarta: Penerbit Ar-Rahmah. Hlm, 71.
[xvi] Ibid. Hlm, 72.
[xvii] Lihat, “Pemikiran Pak AR Tidak Berliku-liku”, dalam, “Pikiran dan Tindakan Pak AR”. Suara Muhammadiyah Edisi 16-30 April 1995. Hlm, 15.
[xviii] Drs. Suratmin. 2010. Pak AR Muballigh Ndeso: Ketua Muhammadiyah 1968-1990. Yogyakarta: Penerbit Ar-Rahmah. Hlm, 72.
[xix] Lihat, “Pemikiran Pak AR Tidak Berliku-liku”, dalam, “Pikiran dan Tindakan Pak AR”. Suara Muhammadiyah Edisi 16-30 April 1995. Hlm, 15.
[xx] Ibid. Wawancara.
[xxi] Ibid. Wawancara.
[xxii] Ibid. Wawancara. Prof. Dr. Muhammad Habib Chirzin.
[xxiii] Ibid. Wawancara. Dr. Khoiruddin Bashori.