SEORANG KIAI YANG ABADI

Oleh: Tofik Pram

Menurut saya, dia adalah pejalan sunyi yang melipir menuju palung kesadaran historis. Dia adalah seorang intelektual yang sangat teliti. Dia memilih untuk menghindari debat dan hujat. Dia bukanlah petarung dunia maya. Dia bergerak secara nyata, sebab dia suka yang nyata-nyata. Mungkin karena itulah namanya Agus Sunyoto. Kiai Agus Sunyoto M.PD.

Padanyalah saya banyak belajar bagaimana bersikap adil pada sejarah sejak di dalam pikiran. Padanyalah saya berlatih jurus-jurus untuk menangkis keterpesonaan kepada narasi sejarah yang di-status quo-kan. Padanyalah saya ‘nyantrik rohani’ untuk belajar bagaimana menggali sejarah, lalu membangun narasi untuk mencoba menempatkan sejarah secara proposional.

Dengan ketelitian dan ‘karamah’-nya, dia berhasil membuktikan secara akademis bahwa Wali Songo—entah itu sebagai orang-orang atau lembaga—bukanlah khayalan. Dengan cara itu dia membuat mereka-mereka yang dengan penuh semangat dan kebencian ingin memenggal bangsa ini dari sejarahnya, dengan ‘menyebar fitnah’ bahwa Wali Songo itu adalah tokoh fiksi seperti Iron Man, jadi kecele.

Dia, menurut saya, adalah salah satu tokoh penting pemelihara akar Islam rahmatan lil ‘alamin di Nusantara ini. Dia mengajak agar masyarakat Nusantara selalu berpegang pada tali Allah. Dan itu bukan tugas yang gampang di tengah makin beringasnya manusia-manusia yang terkooptasi virus religi transnasional, yang dengan penuh semangat jahiliyah menggerogoti kasih sayang Tuhan di Bumi Pertiwi.

Saya ‘ngelmu’ padanya melalui kalimat-kalimat dalam buku-bukunya, yang saya lahap dengan sangat nikmat. “Atlas Wali Songo” dan “Sastra Jendra Pangruwating Diyu” adalah dua karyanya yang sangat menampar kesadaran saya bahwa ternyata saya ini sangatlah bodoh.

Tapi, sepertinya tugasnya sudah cukup. Beliau dipanggil pulang tepat di tengah bulan Ramadhan 1422 H ini. Tubuh boleh tak ada lagi, namun matarantai semangatnya tak akan ambyar. Dia abadi, karena dia menulis, sebagaimana pesan Pramoedya Ananta Toer dalam “Panggil Aku Kartini Saja”: “Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Matur sembah nuwun, Kiai. Insya Allah panjenengan abadi.

#BacalahDenganNamaTuhanmu

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

17 − 15 =